Hidayatullah.com — Di dalam Pasal 28 Huruf J Ayat 1 UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen, dirumuskan dengan sangat konkrit bahwa setiap orang wajib menghormati hak hak asasi orang lain atas dasar ketertiban umum, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Demikian ditegaskan mantan anggota Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia Dr. Saharuddin Daming, menyikapi panitia penyelenggara Miss World yang dinilai mengabaikan suara umat Islam.
“Sekarang HAM umat Islam adalah menjaga ketertiban umum yaitu menjaga moral bangsa agar tidak ternodai oleh berbagai maksiat,” kata Daming kepada hidayatullah.com.
Dalam konteks Miss World, terang Daming, bukan saja tidak ada manfaatnya bahkan itu merendahkan martabat dan mengancam ketertiban umum. Padahal telah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai terminal institusi akhir umat Islam dalam merujuk tentang penilaian mana yang buruk mana yang baik.
“Ulama kita sudah memberikan fatwa bahwa yang baik itu seperti ini. Fatwa MUI tentang Miss World adalah tidak boleh. Apalagi alasannya. Kalau ada yang menolak fatwa MUI berarti melawan HAM, dong,” terangnya.
Diatur Undang-undang
Merujuk pada Pasal 28 Huruf J Ayat 2 UUD 1945, terang Daming, dalam pelaksaan HAM setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh undang undang, kesusilaan, ketertiban umum, dan agama.
“Ada empat pembatasan. Jadi tidak bisa atas dasar kebebasan dan HAM, seseorang kemudian boleh melakukan apa saja. UUD kita sudah mencantumkan aturan itu. Itu konkrit, tidak ada penafsiran lagi,” imbuh mantan komisioner Komnas HAM ini.
Namun sekarang, jelas Daming, kalangan liberal mencoba untuk mengatakan bahwa betul ada pembatasan tapi tidak boleh orang melakukan pembatasan semaunya.
“Menurut saya ini aneh. Aneh sekali. Nyata nyata UU kita memberikan pembatasan,” imbuhnya.
Daming menerangkan, adalah tidak benar atas nama hak dan kebebasan seseorang kemudian boleh mengambil semua apa saja yang dilakukan di Barat lalu berlaku juga di negara ini. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam konstitusi.
Paling tidak ada 4 ketentuan di dalam Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM pada huruf D yang nyata-nyata menyebut bahwa instrumen HAM, konsep-konsep HAM, dan prinsip-prinsip HAM yang dapat diikuti oleh Indonesia hanyalah prinsip implisitas dan instrumen yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
“Jadi tidak semua dari Barat harus diterima dan diterapkan di sini. Aturan tersebut terulang di Pasal 67 dan Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999,” pungkasnya.*