Hidayatullah.com— Gerakan Ekonomi Syariah jangan bersifat musiman. Sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di dunia, Indonesia termasuk terlambat dalam mengambil manfaat dari keuangan syariah.
“Ini sebuah ironi,” kata Ketua Umum Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Soetrisno Bachir dalam Majelis Reboan di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (20/11/2013) malam.
Dalam keterangan persnya, Soetrisno mengatakan, Gerakan Ekonomi Syariah harus diimplementasikan dengan agenda yang jelas dan sistematis. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah juga harus secara serius ditingkatkan. Pemerintah pun dituntut untuk lebih proaktif dalam menyinergikan langkah bersama masyarakat.
Walaupun sektor keuangan syariah di Indonesia tengah menunjukkan perkembangan menggembirakan, hal ini terjadi lebih karena inisiatif masyarakat. Pertumbuhan kelas menengah muslimlah yang menjadi faktor penggeraknya sehingga dapat tumbuh secara signifikan.
Soetrisno menilai, dukungan pemerintah Indonesia masih tertinggal. “Pemerintah di negara lain sangat serius mendorong pertumbuhan ekonomi syariah, padahal populasi muslimnya tidak sebanyak di Indonesia,” ujarnya, dalam pemberitaan Antara.
Meski demikian, Soetrisno juga menyambut baik Gerakan Ekonomi Syariah (GRES) yang dicanangkan Presiden Yudhoyono pada Ahad (17/11/2013) lalu. “Kita harus melakukan gerakan nasional yang sistematis dan konsisten untuk membangkitkan ekonomi syariah, jangan hanya bersifat musiman, apalagi ditumpangi kepentingan politik sesaat,” kata Soetrisno.
Soetrisno juga mengingatkan agar pemerintah serius merumuskan cetak biru keuangan syariah Indonesia. “Cetak biru tersebut harus menjadi bagian penting dan menyatu dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional,” katanya.
Pengembangan ekonomi syariah juga harus menjadi penjuru dari pembangunan ekonomi nasional.
“Pemerintah perlu menggerakkan berbagai instrumen yang dimilikinya untuk secara serius membangun ekonomi syariah, karena ini adalah cara efektif untuk memberdayakan masyarakat dan mengentaskan mereka dari jurang kemiskinan,” demikian Soetrisno Bachir.*