Hidayatullah.com—Dalam acara penutupan tempat prostitusi Dolly di Islamic Center, Jalan Raya Dukuh Kupang, Surabaya, Rabu (18/06/2014) malam, yang dihadiri sekitar 5000 orang Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tak berpidato.
Namun ratusan awak pers malam itu mengerubutinya usai acara.
Didampingi Menteri Sosial, Dr Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jatim Dr H Soekarwo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, menanggapi pertanyaan awak pers soal protes segelintir orang yang menganggap penutupan Dolly telah melanggar hak asasi manusia.
Inilah pernyataan lengkapnya;
“Kalau mau fair dan diberi kebebasan ke mereka (WTS), maka mereka akan bisa memilih.
Jangan karena orang-orang tertentu, yang punya wisma, yang menamakan masyarakat. Kan kasihan masyarakat, kemudian mereka diintimidasi. Itu yang ingin saya sampaikan. Beri hak yang sama ke semua orang.
Jika kita mau fair, kasih kebebasan mereka untuk memilih. Siapa orang mau seperti itu? Pasti mereka ingin lepas dari kondisi itu.
Mereka (WTS) kalau sakit lho, ndak ada yang mau menolong. Kami-kami dari pemerintah yang menolong. Kalau ada apa-apa, mereka (mucikari, red) diam saja!
Bahkan ada yang sampai mau mati, kita-kita yang bawa ke rumah sakit. Bagitu itu apa disebut fair?
Mereka hanya diambil tenaganya saja, kalau ada apa-apa lalu mereka (WTS) ditinggal.
Tiga bulan lalu (saat mencanangkan rencana penutupan Dolly), survey menunjukkan sudah 164 WTS kena HIV/AIDS. Dalam waktu 3 bulan jumlahnya sudah naik 218 orang.
Artinya, apakah semua WTS di situ tak punya resiko?
Saya ingin sampaikan, mereka (WTS) harus diberikan hak yang sama. Tidak boleh ada dikriminasi.
Tadi saya denger, mereka yang mau berangkat ke sini saja dilarang-larang. Jadi mana yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), mana yang bukan?
Sekali lagi saya sampaikan, beri mereka (WTS) memilih, pasti mereka akan memilih. Sudah cukup mereka hancur, keluarganya, anaknya.
Sudah cukup anak-anak yang rusak mentalnya. Ini saja (masalah anak, red) belum selesai. Beberapa anak (korban Dolly, red) sudah tak mampu didampingi psikolog, sudah harus didampingi seorang psikiater (sudah masuk kejiwaan, red). Ini PR berat saya setelah ini. Tapi mata rantai itu harus kita putus supaya tidak banyak lagi korbanya.
Pasti kami mengobatkan. Makanya, kasih mereka kebebasan memilih. Jangan diintimidasi. Sudah cukup mereka tertekan seperti ini. Sudah cukup keluarga mereka hancur. Sudah cukup anak-anak yang mendapat tekanan mental. Kita harus memotong mata rantai setan ini.” *