Hidayatullah.com– Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan.
Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Memperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS – khususnya BPJS Kesehatan –dari perspektif ekonomi Islam dan fikih mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak.
Demikian latar belakang masalah yang terdapat dalam Panduan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) dan BPJS Kesehatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ke-5 yang digelar di Pesantren At-Tauhiddiyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah mulai 07 hingga 09 Juni 2015.
Problematika mengenai Jamkesnas dan BPJS ini masuk dalam pembahasan Masail Fiqqiyah Mu’asyiroh (Masalah Fikih Kontemporer). Berdasarkan hasil kajian dari latar belakang masalah tersebut, maka peserta Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Ke-5 merekomendasikan beberapa hal berikut adalah:
1. Agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya.
2. Agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah.*