Hidayatullah.com – Keluarnya Maklumat Mufaraqah (pengumuman melepaskan diri dari tanggungjawab) terhadap kepengurusan PBNU hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang beberapa waktu lalu oleh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo dinilai karena adanya kejanggalan dalam Muktamar NU.
Makklumat itu disampaikan pada pertemuan napak tilas di pertemuan Napak Tilas pendirian NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Senin (21/09/2015) kemarin.
“Temuan hasil pemikiran salah satu pimpinan NU terhadap hasil muktamar di alun-alun Jombang mengatakan adanya kejanggalan yang dilakukan oleh panitia,” ujar KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah saat dihubungi hidayatullah.com, Selasa pagi (22/09/2015).
Lebih lanjut Kiai Azaim mengatakan bahwa pertimbangan mendasar yang menjadi alasan pesantren yang dipimpinnya melakukan mufaraqah selain kejanggalan pada penyelenggaraan Muktamar Jombang, juga terkait berubahnya Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama.
“Kejanggalan tersebut sudah kami kumpulkan secara lengkap dan tertulis. Di antara yang paling mendasar adalah soal berubahnya AD/ART,” papar cucu dari KHR..As’ad Syamsul Arifin ini.
Kiai Azaim menambahkan pihaknya telah melalui beberapa tahapan sebelum memutuskan untuk mengeluarkan Maklumat Mufaraqah tersebut. Selama ini, lanjut Kyai Azaim, telah dilakukan beberapa kali pertemuan dengan para kiai Nahdlatul Ulama. [Baca: PP Salafiyah Syafi’iyah Mufaraqah, Ajak NU Kembali pada Khittahnya]
“Sikap tersebut diambil setelah beberapa tahapan pada pertemuan lintas wilayah. Juga napak tilas yang sudah tiga kali dilakukan, yakni di Bangkalan, Tebuireng dan terakhir kemarin di Sukorejo,” jelasnya.
Melalui Maklumat Mufaraqah ini, Kiai Azaim menegaskan keluarga besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang diasuh olehnya tidak ada kait mengkait dengan kepengurusan PBNU hasil Muktamar ke-33 di Jombang.
“Kami menegaskan untuk mufaraqah dari kepengurusan PBNU saat ini,” pungkasnya.
Sejarah mufaraqah di tubuh NU bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya, pada Mukamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, saat itulah KHR. As’ad Syamsul Arifin yang dikenal kharismatik dan memiliki pengaruh luar biasa, menyatakan mufaraqah terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurut pandangan Kiai As’ad Syamsul Arifin, Gus Dur, ibarat imam shalat, yang sudah batal karena kentut. Karena itu, tak wajib baginya bermakmum kepadanya.*/Yahya G. Nasrullah