Hidayatullah.com–Pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Game Online diwarnai dengan aksi walk out dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Aksi ini menyusul tidak ditanggapinya usulan KPAI untuk menghilangkan sejumlah pasal di dalam RPM yang berisi tentang klasifikasi usia pengguna Game online. Pembahasan ini sendiri berlangsung di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta pada Selasa (02/12/2015).
Ketua Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi KPAI Maria Advianti mengungkapkan ada beberapa hal yang ditolak KPAI terkait rancangan ini. Selain kualifikasi usia, KPAI menolak rating Game diselenggarakan oleh pihak developer atau swasta.
“Ketua KPAI sejak awal konsens thd RPM ini semata u kepentingan perlindungan anak,” ungkap Maria dalam rilisnya kepada hidayatullah.com.
Lembaga negara independen ini juga mendesak dimasukkannya UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ke dalam butir konsideran RPM. Sejauh ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak mencantumkan UU Perlindungan Anak di bagian mengingat dan seterusnya.
“Alasan KPAI sangat mendasar yakni perspektif perlindungan anak. Kita melihat RPM ini sangat jauh dari semangat untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif Game online,” kata Maria Advianti kepada wartawan di Jakarta pada Selasa (2/12).
Alasan ketiga penolakan KPAI terhadap RPM adalah terkait rating Game online yang saat ini belum jelas. Menurutnya, jika mengacu pada developer di luar negeri, rating Game dibuat sendiri oleh mereka.
“KPAI menolak jika rating Game ditentukan oleh developer karena tentunya akan mengabaikan aspek-aspek perlindungan anak,” katanya.
Maria Advianti mencurigai pembahasan RPM ini hanya akan menguntungkan pihak developer Game yang sejak awal ngotot mengabaikan perlindungan anak. Hal itu dapat dilihat dari segi konten Game yang permisif dengan adanya rokok, minuman keras, narkoba, kekerasan dan penyimpangan seksual, horor dan sebagainya.
“Kita melihat sejumlah developer bersikeras dengan adanya RPM ini. Bisa jadi, dengan adanya RPM ini, developer Game memiliki payung hukum untuk memproduksi Game yang bertentangan dengan prinsip perlindungan anak,” katanya.
Lebih lanjut, Maria Advianti menyayangkan sikap Kementerian yang saat ini dipimpin Rudi Antara. Menurutnya, di tengah upaya keras Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pemberatan Hukuman Kejahatan Seksual, Kementerian Komunikasi dan Informatika malah mengeluarkan rancangan yang tidak pro perlindungan anak.
“Ini sangat ironis, seharusnya Menteri Rudi Antara melihat betapa Presiden Jokowi sangat prihatin dengan maraknya kekerasan dan kejahatan seksual anak. Pembantu Presiden seharusnya memiliki visi yang sejalan dengan atasannya, bukan malah sebaliknya,” katanya sambil tersenyum.
Ditambahkannya, kalau pemerintah tidak bisa berkontribusi mencegah Games yang membahayakan anak, jangan membuka dan melegalkan Games yang merusak generasi.*