AWAL November lalu organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) telah milimih ketua umum yang baru. Disusul organisasi Hidayatullah menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas IV) dan telah membentuk struktur kepemimpinan baru.
Tak lama setelah itu, ada juga Persatuan Islam (PERSIS) yang telah berganti pemimpin baru. Sebelumnya, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga selesai memilih pemimpin barunya.
Sebagian organisasi ini, ada yang sedang menyusun struktur kepengurusan. Ada mutasi, promosi, dan berbagai langkah penyegaran yang ditempuh untuk menyongsong tantangan lebih berat ke depan.
Tulisan singkat ini merangkum nasihat seorang tabi’in besar seputar kepemimpinan, yang semoga bisa menjadi pengingat, inspirasi, dan bekal kita semua; baik bagi penulis pribadi, para pembaca, maupun siapa saja yang ikut menyebarkannya.
Al-Ahnaf bin Qais bin Mu’wiyah bin Hushain at-Tamimiy adalah Kibar Tabi’in, sempat mengalami zaman jahiliyah, dan wafat tahun 67 atau 72 H di Kufah. Nama aslinya Shakhr (si batu karang), sedang Ahnaf (si kaki bengkok) adalah gelar. Beliau pemimpin (sayyid) Bani Tamim dan salah satu jenderal Ali bin Abi Thalib dalam perang Shiffin. Beliau telah berkali-kali memimpin kaum muslimin meraih kemenangan dalam jihad di wilayah Persia sejak masa khalifah Umar. Kepemimpinan dan kesantunan adabnya menjadi legenda.
Akan tetapi, tahukah Anda bahwa nyaris tidak ada sifat buruk pada fisik yang tidak beliau miliki? Beliau bermata juling seolah terhalang gerhana, sangat buruk rupa, berdagu bengkok, susunan giginya berantakan, berjidat menonjol, berpipi kecil, kedua kakinya bengkok dan berpijak di atas punggung kaki, dulu pantatnya dempet kemudian dibelah, bertubuh pendek lagi kerempeng, berkepala kecil, tidak memiliki cambang di pipinya, dan buah dzakarnya hanya sebelah? Ditambah lagi, ibunya berasal dari suku Bahilah, suku yang dianggap rendah dan diremehkan bangsa Arab saat itu.
Lantas, bagaimana beliau bisa menjadi pemimpin disegani dan sangat dipercaya kaumnya maupun pemimpin lain di atasnya; di atas segenap kekurangan fisik dan nasabnya?
Berikut adalah sebagian mutiara hikmah kepemimpinan beliau, yang dinukil dari Siyaru A’lamin Nubala’ karya al-Hafizh Syamsuddin adz-Dzahabi.
PERTAMA. Bila Anda memasuki “belantara” tugas baru, bertindaklah bijak dan hormati orang-orang yang telah lebih dahulu hadir. Jangan buru-buru membuat kebijakan yang tidak populer dan memicu kebencian mereka. Kenali medannya dan jika tidak, Anda pasti dikomentari macam-macam yang sangat jauh dari kenyataan Anda yang sesungguhnya, dan gagal mendapat kepercayaan mereka. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
مَنْ أَسْرَعَ إِلَى النَّاسِ بِمَا يَكْرَهُوْنَ قَالُوْا فِيْهِ مَا لَا يَعْلَمُوْنَ
“Barangsiapa yang buru-buru (mendatangi) manusia dengan (membawa) apa yang tidak mereka senangi, pasti dia akan dikomentari dengan apa yang tidak mereka ketahui.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/93).
KEDUA. Kepemimpinan adalah tali pengikat kekuatan, bukan kekuatan itu sendiri. Seorang pemimpin sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak didukung oleh orang-orang di sekitarnya. Maka, perhatikan siapa orang-orang yang bisa memperkuat Anda, lalu jagalah mereka dengan cinta yang tulus, saling menasehati, ide-ide cerdas, dan sikap ‘iffah (selalu memelihara diri). Inilah yang membuat mereka nyaman, bebas berkreasi, dan melejit; yang pada gilirannya melejitkan sang pemimpin itu sendiri. Jika tidak, mereka akan menarik diri, mencari aman, dan enggan mengemukakan gagasan apa pun. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
لَا يَتِمُّ أَمْرُ السُّلْطَانِ إِلَّا بِالْوُزَرَاءِ وَالْأَعْوَانِ، وَلَا يَنْفَعُ الْوُزَرَاءُ وَالْأَعْوَانُ إِلَّا بِالْمَوَدَّةِ وَالنَّصِيْحَةِ، وَلَا تَنْفَع الْمَوَدَّةُ وَالنَّصِيْحَةُ إِلَّا بِالرَّأْيِ وَالْعِفَّةِ
“Urusan seorang eksekutif takkan sempurna tanpa para asisten dan staf. Para asisten dan staf itu tidak akan berfungsi kecuali jika ada cinta yang tulus dan nasihat. Cinta dan nasehat itu tidak akan berguna kecuali ada gagasan hebat dan selalu jaga diri.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/95).
KETIGA. Jagalah muru’ah dan kehormatan Anda di hadapan mereka. Jangan gemar mengobral rahasia dan melakukan tindakan bodoh yang merusak kehormatan Anda sendiri, atau menimbulkan madharat kepada orang lain. Al-Ahnaf bin Qais pernah ditanya tentang “apakah muru’ah itu”, dan beliau menjawab:
المُرُوْءَةُ كِتْمَانُ السِّرِّ وَالبُعْدُ مِنَ الشَّرِّ
“Muru’ah adalah menyimpan rahasia dan menjauhkan diri dari keburukan.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/93).
KEEMPAT. Jika dalam perjalanan selanjutnya Anda mendapati staf yang buruk dan tidak beres dalam melaksanakan tugas, tegur dan tunjukkan kesalahannya, daripada mendongkol dalam hati. Kadangkala, mereka keliru hanya karena tidak paham apa sebenarnya maksud pemimpinnya. Pemimpin yang bisa menjabarkan visinya dengan baik menjadi kunci organisasi yang efektif. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
العِتَابُ مِفْتَاحُ الثَّقَالَى، وَالعِتَابُ خَيْرٌ مِنَ الحِقْدِ
“Teguran adalah kunci (untuk memperbaiki) orang-orang yang pandir, dan teguran itu lebih baik daripada memendam kejengkelan.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/94).
KELIMA. Akan tetapi, ingat bahwa Anda tidak akan pernah mendapati staf dan anak buah yang tidak pernah melakukan kesalahan. Sebenarnya, jika kesalahannya dapat dihitung dengan jari, berarti Anda telah memiliki anak buah yang sempurna. Al-Ahnaf bin Qais juga berkata:
الكَامِلُ مَنْ عُدَّتْ سَقَطَاتُهُ
“Orang yang sempurna adalah orang yang bisa dihitung kesalahan-kesalahannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/93).
KEENAM. Maka jangan mudah murka, sebab hanya akan memicu kesembronoan dan memanen penyesalan. Bisa jadi, dalam kondisi marah besar Anda akan “mengeksekusi” staf dengan vonis-vonis yang sebentar lagi disesalkan oleh semua pihak. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
لَا يَنْبَغِي لِلْأَمِيْرِ أَنْ يَغْضَبَ لِأَنَّ الغَضَبَ لِقَاحُ السَّيْفِ وَالنَّدَامَةِ
“Tidak sepantasnya seorang pemimpin itu murka, sebab kemurkaan adalah benih yang menyemai ‘pedang’ dan penyesalan.” (Siyaru A’lamin Nubala‘, IV/94).
KETUJUH. Bila suatu saat Anda merasa diperlakukan tidak adil, atau dimusuhi dengan hebat di atas seluruh kebajikan yang Anda persembahkan, atau “air susu dibalas air tuba”, maka jangan buru-buru menuntut hak dan minta keadilan. Perhatikan baik-baik siapa sebenarnya orang yang tengah Anda hadapi. Ingat, keadilan dan balasan yang baik hanya datang dari manusia-manusia mulia, bukan dari orang-orang rendahan, durjana, dan tolol. Cukuplah ibrah dalam kisah Nuh ‘alaihis salam dan kaumnya, atau sirah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum kafir Quraisy. Jangan meradang, akan tetapi maklumi dan kasihanilah orang-orang itu, yang kedunguannya justru mengantar pada kebinasaannya sendiri. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْتَصِفُوْنَ مِنْ ثَلَاثَةٍ : شَرِيْفٌ مِنْ دَنِيْء،ٍ وَبَرٌّ مِنْ فَاجِرٍ، وَحَلِيْمٌ مِنْ أَحْمَقٍ
“Tiga golongan yang tidak mungkin bisa minta keadilan/menuntut hak dari tiga golongan lainnya: orang terhormat dari orang rendahan, orang baik-baik dari pendurhaka, dan orang yang sangat santun dari orang dungu.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/93).
KEDELAPAN. Jangan memenuhi pembicaraan Anda dengan obrolan tentang wanita dan makanan. Pembahasan tentang matsna (poligami) yang tidak terbukti dan hanya bahan olok-olok, tentu tidak produktif dan menjatuhkan martabat. Seorang pemimpin tidak akan memenuhi pikirannya dengan urusan perut dan bawah perut. Jika begitu, ia sebenarnya telah dikuasai hawa nafsu, dan inilah penyakit yang sangat berbahaya. Al-Ahnaf bin Qais berkata:
جَنِّبُوا مَجَالَسَنَا ذِكْرَ النِّسَاءِ وَالطَعَامِ إِنِّي أُبْغِضُ الرَّجُلَ يَكُوْنُ وَصَّافًا لِفَرْجِهِ وَبَطْنِهِ
“Jauhkan forum-forum kita dari pembicaraan seputar wanita dan makanan, sebab aku sangat benci seseorang yang gemar mendeskripsikan (syahwat) kemaluan dan perutnya.” (Siyaru A’lamin Nubala‘, IV/93).
Jadi, sesungguhnya kita tidak bisa “mengambil hati” orang-orang yang kita pimpin dengan uang dan janji-janji. “Berikanlah” diri Anda sepenuhnya, dan mereka akan berbaris di belakang Anda dengan penuh kerelaan dan antusiasme yang meluap. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar, pengasuh PP Arrahmah Hidayatullah, Malang