Hidayatullah.com– Pokok pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) Terorisme yakni UU No. 15 tahun 2013 dinilai timpang. Sebab hanya menyangkut masalah pemberatan sanksi dan perluasan kewenangan, tanpa diimbangi dengan sisi hak asasi manusia (HAM)-nya.
Hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR, Asrul Sani, di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Rabu (23/03/2016).
“Kalau misalnya perluasannya menjadi lex specialis (hukum yang bersifat khusus. Red), maka harusnya perlindungan HAM-nya harus dibuat lex specialis. Tidak hanya berdasarkan ketentuan perundangan HAM yang berlaku,” ujarnya.
Asrul menegaskan, penguatan perlindungan HAM harus jelas. Karena juga sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap korban yang ternyata tidak bersalah.
“Mulai dari salah identifikasi, salah tindak; baik tangkap, tahan, apalagi tembak mati, itu juga harus jelas seperti apa tanggung jawab negara ini,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, tidak hanya jelas mengatur bagaimana kompensasinya. Aturan tersebut harus juga berlaku sebaliknya.
“Termasuk kepada aparat yang bersalah, bahkan tanggung jawab rantai komando. Tidak hanya aparat di lapangan saja yang ditindak, tetapi juga rantai komando di atasnya,” jelas politisi dari Fraksi PPP ini.
Terkait RUU Terorisme, kata Asrul, pemerintah berhak mengajukannya, yang kemudian harus disikapi oleh DPR. Bisa dengan menolak, menunda, maupun membahas, tapi isinya berubah, baik sedikit maupun keseluruhan. [Baca: Ini Pokok-pokok Pembahasan Revisi UU Terorisme]
Namun menurutnya, hasil keputusan RUU ini nantinya akan bergantung kepada proses politik dan dukungan masyarakat.
Saat ini, katanya, tak hanya dari kelompok Islam yang konsen terhadap perluasan wewenang dalam pembahasan RUU Terorisme. Tapi juga dari kelompok lain semisal Koalisi Masyarakat Sipil.*