Hidayatullah.com – Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Arwani Faishol menyatakan, tidak tepat jika upaya perbaikan moral bangsa melalui perluasan makna zina dalam KUHP disebut sebagai mengsyariatkan hukum positif di Indonesia.
Ia menjelaskan, bahwa hukum positif tidak berdiri sendiri karena merupakan akumulasi dari hukum adat, hukum agama dan kovenan internasional.
“Apalagi masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Dan diketahui semua agama juga melarang perzinaan dalam arti yg luas, tidak sempit sebagaimana yang ada di pasal 284 KUHP itu,” ujar Arwani kepada hidayatullah.com usai sidang perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (04/10/2016).
Ia juga mengungkapkan, bahwa langkah pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan zina tanpa dibatasi oleh status pernikahan adalah demi keadilan.
“Kalau tidak berstatus nikah dan melakukan perbuatan zina harus ada aturannya, ada hukum, dan hukuman,” jelasnya.
Lebih lanjut, pihaknya juga mengajukan agar tidak harus menunggu aduan dalam perkara tersebut, dalam artian menjadi delik umum. Meskipun dianggap akan menyentuh ranah privasi.
“Karena zina meskipun itu tindakan privat, tetapi dampaknya ke masyarakat luas. Sama seperti pencurian, meskipun orang yang hartanya dicuri sudah ikhlas, tetap hukum pidana. Meskipun zina itu sama-sama suka, tapi ini terkait kehidupan sosial dan masyarakat butuh hidup yang lurus, maka masyarakat punya hak untuk dilindungi dari pencemaran moral tindakan zina,” papar Arwani.
Menurutnya, silahkan saja jika ada pihak yang bersikukuh menganggap zina sebagai ranah pribadi yang tak boleh diganggu. Namun, terangnya, kejujuran hukum yang mencerminkan keadilan mesti ditegakkan.
“Kalau tidak ada hukum bagi pelaku zina yang berstatus tidak nikah, ini berarti pembiaran tindakan asusila. Semua mengakui bahwa zina itu pelanggaran kesusilaan yang melampaui batas-batas kemuliaan manusia. Makanya tuntutannya juga harus berat,” pungkasnya.*