Cathy bertutur, sebelum penangkapan dia dan suaminya baru tiba ke kediamannya di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, sekitar pukul 02.00 WIB.”Baru istirahat sebentar, habis pulang dari pengajian, sekitar pukul 03.00 WIB bel berbunyi terus-menerus, pas dicek oleh Bapak ternyata udah banyak orang di depan rumah ada Pak RT juga di situ,” ujarnya.
Cathy pun, tuturnya, memakai mukena, lalu menyusul Mustofa. Ia mengaku, bersama suaminya saat itu belum tahu kalau orang-orang yang datang ke rumahnya itu adalah anggota kepolisian.
“Setelah saya cek juga, saya mengetahui ternyata bapak-bapak ini adalah polisi dan membawa surat penangkapan terhadap suami saya. Saya cek surat itu, kemudian Bapak tanda tangan dan satu surat saya pegang,” ungkapnya.
Surat tersebut berisi surat penangkapan terhadap Mustofa atas pelaporan yang masuk ke Bareskrim Polri pada tanggal 25 Mei 2019. Pada surat tersebut, tuturnya, kejadiannya tanggal 24 Mei di Jakarta Selatan. “Akan tetapi, tidak tercantum siapa pelapornya,” ungkapnya.
Cathy merasa perlu menggarisbawahi kejadian itu, pasalnya yang dilaporkan itu suaminya dituduh melakukan tindakan penyebaran berita bohong pada tanggal 24 Mei di Jakarta Selatan.
“Bapak itu pada tanggal 20 sampai 24 Mei itu sakit, enggak bisa ke mana-mana, ada di kamar terus, Jumat saja keluar untuk shalat Jumat. Jadi, tanda tanya besar, ya, di Jaksel itu di mana? Karena Bapak enggak di situ,” ucapnya.
Lanjut cerita, Mustofa pun dibawa oleh petugas kepolisian sedangkan Cathy memaksa untuk ikut sebab Mustofa dalam keadaan tidak sehat, sehingga Cathy ingin memastikan bahwa kondisi suaminya tidak memburuk.
“Saya ikut ke sini tetapi pukul 07.30 WIB disuruh pulang. Saya kembali untuk memberikan obat,” tuturnya kutip Antaranews.com, Ahad malam.
Sebagaimana diketahui, Mustofa yang dikenal sebagai pegiat media sosial ditangkap untuk diperiksa karena diduga melakukan tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA dan/atau pemberitaan bohong melalui Twitter, berdasarkan laporan di Bareskrim Polri pada tanggal 25 Mei 2019.
Mustofa dijerat dengan Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam surat penangkapan, Mustofa dijerat Pasal 45A Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Mustofa dijadikan tersangka dikarenakan cuitannya yang dipersoalkan itu, dimana diunggah pada akun Twitter @AkunTofa yang menggambarkan seorang anak bernama Harun (15) yang meninggal setelah disiksa oknum aparat.
“Innalillahi-wainnailaihi-raajiuun. Sy dikabari, anak bernama Harun (15) warga Duri Kepa, Kebon Jeruk Jakarta Barat yg disiksa oknum di kompleks Masjid Al Huda ini, syahid hari ini. Semoga Almarhum ditempatkan di tempat yang terbaik disisi Allah Swt., Amiiiin YRA,” demikian cuitan di @AkunTofa disertai emoticon menangis dan berdoa.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul membenarkan cuitan itu yang dipersoalkan. “Iya benar,” sebutnya saat dimintai konfirmasi mengenai cuitan Mustofa.
Sebelumnya, di media sosial, ramai disebarkan informasi disertai narasi bahwa ada anak di bawah umur bernama Harun Rasyid dianiaya hingga meninggal. Peristiwanya disebut terjadi di dekat Masjid Al-Huda, Jajan Kampung Bali XXXIII No. 3, RT 2 RW 10, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Polri kemudian membantah info itu. Menurut Polri, info tersebut hoax, menurut Polri itu merupakan penangkapan salah seorang yang disebut perusuh bernama A alias Andri Bibir. Polri menyebut orang itu masih hidup. Peristiwa itu sendiri terjadi pada hari Kamis (23/05/2019) pagi. Pengamatan hidayatullah.com sejauh ini, banyak pengguna media sosial yang meyakini jika kejadian itu bukan hoax, sebagian menyangsikan jika korban penganiayaan tersebut masih hidup, yang lainnya ada yang percaya masih hidup.* SKR