Hidayatullah.com-Liberalisasi Islam di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari pemikiran liberal dari Dunia Arab. Kalau diperhatikan, ide-ide liberalisme yang dikembangkan di kampus, banyak sekali –kalau tak boleh dikatakan selalu—mengadopsi dari pemikiran tokoh liberal Arab. Demikian disampaikan Dr. Nirwan Syafrin dalam Seminar Sehari “Fenomena Transnasionalisme Islam Liberal di Dunia Akademik” yang diselenggarakan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
“Di antara pemikir Arab Muslim liberal seperti Qasim Amin, Lutfi al-Sayyid, Muhammad Husain Haykal, Taha Husain, ‘Ali Abd al-Raziq. Mereka ini seringkali diadopsi dan mirip pendapatnya dengan orang liberal Indonesia,” ujarnya dalam makalah berjudul “Pemikiran Liberal di Dunia Arab” , hari Ahad (15/9/2019) di Kantor INSISTS Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta.
Sebelum menyampaikan lebih banyak tentang paparan ilmiahnya seputar pemikiran liberal Arab, intelektual muslim jebolan International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia_ ini menuturkan bahwa triger seminar ini adalah disertasi “milkul-yamin” yang dipakai Abdul Aziz yang diajukan dalam suatu universitas Islam asal Yogyakarta yang sempat ramai beberapa minggu lalu.
Baca: Memahami Liberalisme
Menurutnya, dapat dikatakan disertasi tersebut banyak dipengaruhi transnasional pemikir liberal Arab, yang dalam hal ini adalah Muhammad Syahrur.
Nirwan melakukan mapping (pemetaan) agar semua memahami tantangan yang dihadapai umat Islam saat ini.
Tokoh-tokoh liberal Dunia Arab yang sering dirujuk kaum liberal di Indonesia adalah; Muhammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Faraj Fauda, Muhammad Asymawi, Fuad Zakariya, Muhammad Syahrur, Sadiq Jalal ‘Azm, Fatima Memisi, dan Amina Wadud. Selain itu, juga ada Tayyib Tizini, Sadiq Nayhum, Abdul Majid al-Syarafi, Hisham Ja’idz, Hisyam Syarabi, Muhammad Mahmud Thaha, Abdullah A An-Naem, Abdul Kariem Shourush, Abdullah ‘Arwi, Fajrul Rahman, dan Khalid Abu Fadl.
Alumnus Madrasah Mu’allimin Al-Wasliyah Medan ini menyinggung istilah transnasional, karena kaum liberal biasa menggunakan istilah itu.
“Karena liberalisme sendiri juga diimpor dari Barat, maka Islam liberal itu juga bukan muncul dari budaya kita tapi mereka impor dari luar negerai ke dunia akademis.”
Semua tokoh yang dirujuk itu, termasuk pemikiran Nasr Hamid, Abid Al-Jabiri atau Muhammad Syahrur dan lain-lain, semuanya pemikiran impor dari luar yang dibawa ke Indonesia.
Model Pemikiran
Wakil Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor itu membagi periodisasi pemikiran Islam: Klasik-Pre-Modern-Modern-Kontemporer. Sedangkan menurut tipologi pemikiran Islam, secara umum dibagi menjadi: Liberal-Salafi-Elektik.
Secara global, peta pemikiran Islam tuturnya, sudah dimulai dari invasi Napoleon ke Mesir (1798). Dilanjutkan beberapa peristiwa penting di dunia Islam seperti; Muhammad Ali Phasa menjadi pemimpin Mesir (1802), Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924), Berdirinya Ikhwanul Muslimin (1928), Berdirinya Negara Israel (1948), banyak Negara Islam merdeka (1945-1950), Bangsa Arab kalah dalam perang 6 hari di Israel (1967), Revolusi Iran (1979), Serangan Terhadap WTC di Newyork (2001) hingga Arab Spring (2015).
Peristiwa-peristiwa itu, sedikit banyak turut mempengarui muncul dan berkembangnya liberalisme dalam dunia Islam.
Perkembangan liberalisme juga terkait erat dengan konteks yang mengitarinya.
Seperti Ali Abdul Raziq (dengan karya tulisnya tentang negara sekular) dan Nurcholis Madjid (pernah membuat geger dengan ide sekularisasinya); atau misalkan terorisme dan radikalisme misalnya dimunculkan pasca pengebomoan WTC.
Pria yang pernah membuat disertasi berjudul “A Critique of Reason in Contemporary Arab Intellectual Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri” ini mengatakan, awalnya pusat paham liberal berada di Mesir, tapi berikutnya di negeri Maghrib (Afrika Utara: Maroko, Aljazair dan lain-lain yang dekat dengan Prancis). Namun saat ini, paham liberal sudah menyebar di mana-mana.
Baca: Evil of Liberalism
Menutup acara ini, Nirwan menyampaikan beberapa program dan agenda kaum liberal-sekular.
Pertama, membongkar atau dekonstruksi struktur epistemologi dan metodologi pemikiran Islam klasik. Kedua, sekularisasi dan desakralisasi ajaran Islam. Ketiga, menafsir ulang al-Qur`an dan as-Sunnah, syariah dan akidah Islam. Keempat, mengadopsi dan metodologi yang berkembang pada ilmu-ilmu humaniora dan filsafat saat ini.
“Kalau diamati, karya tulis tentang “milkul-yamin” yang sampai menghalalkan hubungan seksual di luar nikah, memang disamping terpengaruh tokoh liberal Arab, juga terkesan ada upaya untuk mendekontruksi syariat, desakralisasi ajaran Islam dan menafsir ulang al-Qur`an sesuai dengan yang dikehendakinya sesuai metode asing yang bertentangan dengan metode ulama Islam otoritatif,” ujarnya.
Nirwan juga menyoroti, penggunaan nama ‘Islam Liberal’ yang sering mereka gunakan juga sudah bermasalah.
“Istilah Islam liberal adalah nama yang mereka promosikan sendiri. Padahal, Islam dan liberal adalah dua terma (terminologi) yang bertolak belakang,” katanya.
Selain itu, ia mencatat beberapa keanehan dan kebiasaan kaum liberal.
“Mereka, orang liberal masih suka merujuk ke Al-Qur`an, as-Sunnah dan turats untuk menunjukkan bahwa pemikiran mereka ada akarnya. Atau tidak keluar dari turats Islam. Seolah-olah mereka bukan orang nyeleneh yang tak perlu disikapi secara reaktif.”*/MBS