Hidayatullah.com–Rekontekstualisasi fikih sudah biasa terjadi dalam Islam, selama tidak bertentangan dengan hukum yang sifatnya sudah pasti. Demikian disampaikan peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr Nirwan Syafrin.
Hal ini disampaikaan menanggapi pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas awal pekan ini, Senin (25 Januari 2021), saat menghadiri acara yang terselenggara secara virtual yang digagas oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). “Padahal fikih harus menyesuaikan perkembangan zaman, harus direkontekstualiasi. Tetapi dalam Islam jarang ada yang berani melakukan rekontekstualisasi ini sehingga di banyak kejadian ini menjadi sumber masalah,” kata Yaqut.
Menurut Nirwan, dalam Islam sudah sangat jelas dalam pembahasan fikih. Ada ruang perbedaan dan ruang ijtihad dalam hukum.
“Jadi sebetulnya dalam Islam ini sudah sangat jelas. Hukum-hukum yang ada ruang ijtihad , ruang perbedaan, itu terjadi selalu, dan dalam kehidupan kita,” kata Nirwan Syafrin kepada hidayatullah.com, Selasa, (26/01/2021). “Ketika persoalan itu menyentuh hukum-hukum yang memang tidak mungkin diganggu gugat, ya tidak mungkin diubah. Tapi kalau hukum-hukum yang memang ada ruang untuk diijtihad kan, ada ruang kita untuk berbeda, ada ruang kemudian kita untuk menyesuaikannya,” sambungnya.
Pengajar di Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor ini memberi contoh terkait hukum yang statusnya bisa berubah, seperti yang baru-baru ini mencuat perihal wakaf uang. Menurutnya, sebelum ini, wakaf hanya dipahami sebatas penyerahan benda-benda yang tidak bergerak.
“Misalnya, wakaf uang dulu tidak ada, istilah wakaf uang itu baru, dulu wakafnya barang-barangnya tidak bergerak, tapi ada manfaatnya. Itukan ijtihad baru,” katanya.
Hanya saja menurut Nirwan, isu kontekstualisasi ini perlu diperhatikan. Sebab, justru hukum yang sudah pasti yang selalu timbul dipermukaan dan dipersoalkan. “Karena isu kontekstualisasi ini kan isunya selalu persoalan yang berhubungan dengan hukum-hukum yang memang dalam Islam sudah pasti,”ungkapnya.
Doktornya dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Islam Antarbangsa atau International Islamic University Malaysia (IIUM) ini menyadari masyarakat Indonesia yang cukup beragam. Meski demikian hal ini tidak bisa mejadi dasar mengubah hukum yang sudah pasti (dalam Islam) secara seenaknya.
Pria kelahiran Batak yang mengambil master dalam Islamic Revealed Knowledge ini juga mengomentari rencana Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang akan mengkaji isi dari surat keputusan bersama 2 menteri (Menag dan Mendagri) terkait pendirian tempat ibadah. Sebelumnya, di acara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Menag berjanji akan menelah pasal yang dinilai menjadi hambatan mendirikan tempat ibadah.
Bagaimanapun, Nirwan mengingatkan jangan sampai kontekstualisasi yang dimaksudkan, menjadikan gereja dan masjid bisa dijadikan satu. Misalnya gereja bisa dijadikan tempat shalat, masjid bisa jadi tempat beribadah orang Nasrani dan itu sudah bukan kontekstualisasi lagi namanya.
“Kalau itu misalnya arahnya kesana. Saya pikir itu bukan kontekstualisasi lagi, namanya itu ingin merusak agama,” tegasya lagi.
Merujuk Ulama
Hal senada juga disampaikan Rektor Universitas Islam Darussalam (UNIDA) Gontor, Dr Hamid Fahmy Zarkasi. Menurut Hamid, bila ingin melakukan rekontekstualisasi fikih tentu harus merujuk pada ijtihad ulama sebelumnya.
“Yang namanya ijtihad itukan merujuk pada ijthad sebelumnya, dan dalam ijtihad itu ada hal-hal yang ushul yang dipertimbangkan,”kata Hamid Fahmy Zarkasyi saat dihubungi hidayatullah.com pada Sabtu, (29/01/2021).
Menurut Hamid, di dalam fikih itu ada masail ijtihadiyah, furu’iyyah, artinya masalah-masalah yang terbuka untuk dicari hukumnya. karena tidak disebutkan secara eksplisit (muhkam) oleh al-Qur’an dan Hadith. Meskipun demikian, suatu ijtihad tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum lain yang terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut. “Jadi tidak bisa ijtihad dengan alasan rekontekstualisasi tapi pada akhirnya bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits” tegasnya.
Menurutnya fikih sudah ada sejak zaman nabi dan sahabat. Karena itu jika ada yang mengatakan fikih disusun pada Abad Pertengana yaitu tahun 1500 itu adalah tidak tepat. Juga tidak tepat jika fikih disusun dalam suasana Perang Salib. Sebab Perang Salib bermula abad ke 11 (1096, sedangkan 4 Imam Mazhab Fikih hidup pada abad 8 dan 9. Hanbali misalnya wafat tahun 870M. Gambaran yang salah ini hanya mengesankan kesan negatif terhadap fikih, tukasnya.
Maka jika ingin melakukan rekontekstualisasi fikih atau ijtihad syaratnya tidak ringan. Yang utama adalah mengetahui bahasa Arab dengan segala seluk beluknya. Kemudian al-Qur’an, asbab nuzul-nya, nasikh mansukh, muhkamat-mutasyabihat dsb. Hadits dengan matan dan sanad-nya dan terakhir harus memahami “maqasid syariah“. Masalahnya bukan mau atau tidak mau, tapi mampu atau tidak ulama di Indonesia untuk berijtihad dengan syarat itu. Jangan sampai ada yang sekedar mengotak atik hukum karena situasi sosial keagamaan yang ada, sehingga hukum disesuaikan dengan kondisi itu. Ini namanya ijtihad liberal.
Lebih lanjut, Hamid membeberkan jika konteks ijtihad ini ada hubungan dengan non-Muslim, maka ada konsekuensi akidah di sana. “Kalau konteksnya adalah hubungan antara Muslim dengan ahlul kitab, atau non-Muslim itu ada aspek akidah di dalamnya. Tidak bisa kemudian kita membuat hukum yang saling membolehkan,” tutur Hamid.
Ia mencontohkan ijtihad -nya orang-orang feminis yang ujung-ujungnya mengorbankan Al-Qur’an mengenai mawaris.
“Bagi laki-laki 2 kali jatah warisan perempuan, ini sudah muhkamat (ayat ayat yang maknanya sangat jelas dan tidak tersembunyi, red), begitu dikontekstualisasikan dengan feminisme hukum ini berubah,” katanya.
Sekarang ini, kata Hamid, kita tau sendiri, apa yang mereka sebut, ijtihad atau pun rekontekstualisasi hukum itu, pada akhirnya kita ingin mengorbankan ayat. “Jadi tidak bisa kita berijtihad hanya dengan akal, meninggalkan Al-Qur’an dan hadist. Itu pendapat saya, dan saya kira tradisi Islam begitu,” tutupnya.*/Azim Arrasyid