Hidayatullah.comâSebagian Muslim menganggap mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam, tidak bermazhab, cukup merujuk kepada Al-Qurâan dan as-Sunnah. Sebagian bahkan menyatakan orang yang bermadzhab adalah orang yang bertaqlid, yang akan berdampak pada perselesihan, benarkah?
Salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Dr. Ugi Suharto, mengatakan, sesungguhnya mazhab secara Bahasa adalah tempat merujuknya pemikiran yang sistematis dan berstruktur. “Mazhab adalah kumpulan-kumpulan pandangan ilmiah dan juga falsafah yang terkait satu sama lain,” demikian disampaikan oleh pada Kajian Ilmah bertema tema âPemikiran Bermazhab sebagai Pemikiran Berstruktur,” pada hari Jumat (18/11/2022) di Masjid Ulul Azmi Kampus C Universitas Airlangga Surabaya.
Menurut pengajar University College of Bahrain ini dalam Islam ada dua pemikiran. Pertama, pemikiran yang berstruktur (sistematis dan teratur). Kedua, pemikiran yang tidak terstruktur (eklektik).
Pemikiran sendiri ada yang bersifat ilmi dan amali (fikih). Ia mencontohkan dalam masalah akidah saja, sudah ada tempat merujuk (Mazhab).
âSiapa pemimpin umat setelah meninggalnya Rasulullah ï·ș?. Jawaban pertanyaan ini saja bisa menujukkan ke mana seseorang bermazhab,â katanya. âKalau jawabanya adalah Abu Bakar, berarti ia mermazhab pada ulama mayoritas, yakni ahlus sunnah wal jamaah. Tapi jika pendapatnya di luar itu, bahwa pemimpin setelah Rasulullah wafat adalah Sahabat Ali bin Abi Thalib, berarti mahzab nya Syiah,â ujarnya di hadapan para peserta yang hadir.
Menurutnya, sesungguhnya umat Islam tidak bisa keluar dari mazhab. Sebab menurutnya, berbagai pemikiran dalam Islam, ujungnya akan merujuk pada satu sumber.
âKalau ditanya, apakah pemimpin umat (khalifah) itu sifatnya maâsum atau tidak?â kalau jawabannya Ma’sum dia Mazhabnya Syiah.”
Struktur pemikiran Islam
Adanya struktur pemikiran Islam itu ada empat. Pertama dan tertinggi, worldview (pandangan hidup atau dien). Worldview adalah pemikiran tentang pandangan hidup umat Islam yang berbeda dengan umat beragama lainnya; seperti Kristen, Buda, Hindu atau Atheis.
Setidaknya ada sembilan unsur fundamental dalam pandangan hidup Islam, yakni 1) hakikat tentang Tuhan, 2) hakikat wahyu, 3) hakikat ciptaan-Nya, 4) hakikat manusia dan jiwa manusia, 5) hakikat ilmu, 6) hakikat agama, 7) hakikat kebebasan, 8) hakikat nilai dan kebajikan, 9) serta hakikat kebahagiaan. Kesembilan elemen dasar inilah yang menjadi dasar cara pandang umat Islam terhadap kehidupan.
Menurut pria yang menyelesaikan pendidikan doktoral di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) ini, umat Islam memiliki worldview sendiri, yang membedakan dengan umat agama lain. Mayoritas umat Islam (meski berbeda mazhab) sama sama dalam hal pandangan hidup (worldview), katanya.
âStruktur di bawah worldview ada kalam, di sinilah umat mulai berbeda dan mulai ada mahzab,â ujarnya.
Menurutnya, pertanyaan seputar âSiapakah pemimpin setelah wafatnya Rasulullah ï·ș?” termasuk kalam. âInilah yang disebut kalam. Ada kalam ahlusunnah wal jamaah ada kalam-kalam Syiah.â
Struktur Ketiga, adalah fiqh (posisinya di bawah pemikiran). âKalau sudah menyangkut fikih (ranting), sudah menyangkut amal,â ujarnya.
Menurut Ugi, di dunia Islam dikenal ada delapan mahzab pemikiran, yang masing-masing ada yang mengadopdsi dan mengamalkan. Di antaranya 4 mahzab dari Ahlus Sunnah wal Jamaah (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), sisanya 4 mahzab kecil.
âMazhab Hanafi, banyak diamalkan di Turki, Pakistan, Bangladesh, India. Mazhab Maliki banyak diamalkan di Afrika Utara (Aljzair, Maroko, Tunisia, Libya, Mauritania), Mahzab Syafii diamalkan di Indonesia, Brunei, Malaysia, Mesir dan Mazhab Hanbali (banyak diamalkan di Negara Jazirah Arab dan NegaraTeluk).
Selain Ahlus Sunnah, dua mahzab lainnya adalah Syiah; Jaâfariyah dan Zaidiyah, banyak dipraktekkan di Iran dan Yaman. Sisanya Mahzab Ibadi atau Ibadiyah, banyak dipraktekkan di Oman dan terakhir Mahzab Dhohiri, dianut sebagian ulama, namun tidak ada satupun negara yang mengadopsi.
Struktru keempat adalah struktur kemasyarakatan, ekonomi dan politik (siyasah). Mulai dari pemikiran ini mulai banyak beragam, makin banyak perbedaan.
Banyak persamaan
Meski umat Islam berbeda mahzab, masih banyak persamaan disbanding perbedaan. Ia membuktikan dalam bidang hadist.
Inti dari disiplin hadist adalah perawi atau sanad. Kalau perawinya tsiqah (adil dan dhobit). Kalangan Ahlus Sunnah mengakhui, Shahih Bukhari menyushul Shahih Muslim, memiliki derajat kesakhihan lebih tinggi.
âMenariknya, para perawi dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, ada yang bukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Maknya, meski para perawi itu mahzab akidanya berbeda, tetapi worldview nya sama, makanya masih dipakai oleh para ulama, â tambahnya.
Ia kemudian mengutip Ibnu Hibban, dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau kitab-kitab hadis lain, para ulama masih mengambil hujjah (Riwayat) dari mubtadiâah (sebagai golongan ahlul bidâah seperti Syiah, red), ulama salaf dan ulama khalaf tetap menerima riwayat-riwayatnya.
Selain itu, menurutnya, dalam kitab ushul fiqh (ushul fikih), para ulama sangat luas dalam mengambil dan mempertimbangkan pendapat-pendapat lain. Bahkan dalam kitab-kitab tafsir, para ulama mempertimbangkan pendapat lain.
Ia menyebut Kitab Tafsir Fathul Qodir dari Imam Asy-Syaukani yang mengambil riwayat Muâtazilah. âDi tafsir Surah Al-Fatikhah, alamah Asy-Syaukani mengambil Al-Zamakhsyari, yang merupakan Muâtazilah,â katanya.
âDari sini terlihat para ulama dulu bersikap inshof, adil dan menerima perbedaan.â
Ia mengutip ulama Al-Azhar Mesir, Syeikh Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid, bahwa umat Islam mulai betbeda dalam hal Iâtiqod (kalam), siyasah (politik), fiqh (fikih), tetapi perbedaan ini tidak menyentuh inti sari agama (lubbuddin), tidak menyentuh tauhid, dan mempertanyakan Al-Quran.
âWalau mereka berbeda pendapat, perbedaan-perbedaan itu tidak menyangkut worldview (lubbuddin), tidak sampai menyentuh tentang keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad ï·ș,â ujarnya.
Membangun peradaban Islam dengan bermahzab
Menurut Ugi, umat Islam justru paling sering berseteru pada struktur pemikiran Islam paling rendah. Padahal perbedaan pada tingkat ini berpotensi membawa banyak mudharat besar, pertumpahan darah, perang, fitnah, permusuhan, dan dendam kesumat.
Sejarah mencatat bahwa perpecahan umat Islam sering kali berawal dari masalah siyasah yang kemudian ditarik kepada masalah aqidah. âPadahal, persoalan amal keseharian ini sebenarnya adalah persoalan ranting dari rantingnya cabang,” ujarnya .
Padahal menurutnya, menghadapi mahzab seharusnya seperti kita menghadab Kiblat. “Perbedaan madzhab ini seperti perbedaan umat Islam ketika menghadap kiblat. Ada yang dari utara, timur, barat, selatan,â katanya.
Karenanya, tidak perlu menyalahkan orang yang bermadzhab karena orang yang bermadzhab adalah orang yang konsisten. âKalau di Indonesia, kita konsisten menghadap Kiblat ke arah Barat, begitu pula di tempat lain. Semakin jauh posisi kita dari Kaâbah, maka semakin konsisten dia menghambil arah yang dihadapi,â ujarnya.
Hanya saja, dalam urusan arah bermadzhab, umat Islam dipandu oleh ilmu ushul fiqh. Dengan ushul fiqh inilah para ulama memproses dalil-dalil syariah untuk menghasilkan panduan beramal.
Secara umum, ushul fikih terdiri dari dua mahzab fikih yang besar. Yakni, thariqtul mutakallimin (membangun prinsip-prinsip umum/ushul ke ranting) dan thariqatul fuqahaâ (mengambil prinsip-prinsip ranting ke umum/ushul).
âFikih Maliki, Syafii, dan Hanbali mengambil ushul fikih sama, thariqatul mutakallimin. Sementara Mahzab Hanafi mengambil thariqatul fuqaha,â ujarnya.
Ia mencontohkan, bagi pengikut Mahzab Syafii dan Hanbali, shalat fardhu adalah wajib. Sementara bagi pengikut Mahzab Hanafi, justru shalat witir itulah yang wajib.
âWitir itu bagi Mahzab Hanafi adalah shalat wajib, meninggalnya adalah dosa. Tetapi bagi kita, itu (witir) justru sunnah,â tambahnya.
Di Mahzab kita hukum ada dua saja, sah atau batal. Jika amalah memenuhi rukun, artinya sudah sah, sedang yang tidak memenuhi batal.
âPadahal dalam Mahzab Hanafi ada tiga; yakni, sah, batal dan rusak,â katanya.
Bermahzab menurut Ugi, tidak hanya dalam fikih saja. Bahkan di dalam Bahasa Arab adalah banyak Mahzab; Kuffah dan Bashrah.
Bahkan dalam urusan membaca Al-Quran saja ada Mahzab, yang dikenal 7 bacaan qiroâah. Tetapi selama ini, kita (di Indonesia) hanya menggunakan satu Mahzab, yang ini berbeda dengan saudara Muslim di Afrika.
âDalam bacaan Al-Fatikhah saja ada yang membaca maliki yaumiddin dengan mad (Panjang), ada yang pendek. Semua ada Riwayatnya dari Rasulullah, sesuasi dengan Mushaf Ustmani, â ujarnya.
Saat ditanya apakah umat Islam bisa keluar dari Mahzab? Menurut pria yang pernah mengampu kuliah ilmu hadis ini, secara praktik, seorang Muslim tidak akan bisa keluar dari mahzab.
Karena itu ia berpandangan, orang yang tidak bermadhzab akan beresiko. Di antara resikonya adalah cara berpikir menjadi tidak terstruktur, dan akan mengalami kekeliruan dalam memahami fikh.
âKalau tidak bermahzab dan menyebabkan keliru atau bingung, maka dampaknya akan membingungkan orang lain,â ujarnya.
Karenanya ia berkesimpulan, peradaban Islam dahulu (saat memimpin dunia, red) dibangun oleh para ulama dan umara yang bermadhzab. Karenanya, jika ingin membangun kembali peradaban Islam, tidak perlu segan dan malu-malu bermadzhab.
âKarena di situlah disiplin berfikir, dan memberi harapan pada peradaban Islam, sehingga tidak disibukkan dengan masalah yang tidak esensial, “tambah dia sekaligus menutup kajian sore itu.*/Agus Dwi