PARA penonton menatap khusyuk satu sosok yang sedang menyapu lantai di atas panggung. Diiringi musik yang mengalun pelan, suasana temaram, hanya menyisakan lampu panggung yang memancarkan sinarnya.
Terpampang gambar anak kecil yang wajahnya mengekspresikan teriakan dan pemberontakan.
“Aku enggak mau bapak,” terdengar teriakan ‘anak’ tersebut.
“Jangan katakan itu, ayah mohon jangan katakan itu lagi!” Harap sang bapak menyela perkataan ‘anaknya’.
Demikian secuil sesi pada Monolog Keayahan dari episode pertama yang bersumber dari 6 naskah karya Irwan Rinaldi -pemeran monolog tersebut.
Pejuang parenting ayah ini memulai monolognya yang mengisahkan perjuangan keterlibatan peran penting ayah tiada henti, yang di selenggarakan di Auditorium Gelanggang Remaja, Bulungan, Jakarta Selatan, Sabtu (24/12/2017).
“Keayahan merupakan jalan perjuangan yang saya pilih lewat lembaga Ayah untuk Semua (AuS) dalam berkontribusi pada negeri ini,” tuturnya kepada wartawan termasuk hidayatullah.com selepas ia mengisi Monolog Keayahan.
Baca: Kisah Foto Mengharukan: Anak Peluk Hangat Ayah nan Renta
“Saya tak sanggup membayangkan bagaimana negeri ini di masa depan, jika anak-anak tumbuh dan berkembang tanpa peran ayah dalam pengasuhan mereka, khususnya di masa emas anak-anak di umur 0-15 tahun usia mereka,” lanjutnya mengungkapkan.
Ayah Irwan, sapaan akarabnya, lelaki yang gemar mendirikan komunitas ayah di berbagai penjuru, melanjutkan monolognya. Bahwa bertahun-tahun ia mendampingi anak yang tertatih-tatih dalam kehidupan sehari-hari.
Dimana ada ayah mereka secara fisik, tapi mereka sangat sulit menemukan ayahnya secara psikologis. Padahal mereka duduk bersama, memegang tangan ayahnya, menyentuh pundak ayahnya, bisa melihat ayahnya berjalan dan melihat jelas sosok ayahnya dari ujung rambut menuju ujung kaki.
“Semua itu tak ditemukan ada jembatan emosi antara ayah dan anak. Padahal ayah sosok dalam keluarga yang memiliki tempat tersendiri di hati permata anaknya.
Baca: Ayah Menulis Kitab, Putrinya Menghafalnya, Menantu Mensyarahnya
Namun tak jarang meski ayah dihormati dan disegani, juga ditakuti, bukan karena tak menyayangi keluarganya, melainkan karena umumnya ayah, hemat dalam berbicara, hingga cintanya sulit diungkap tak mudah direka,” tegasnya.
Ayah Irwan berharap, dengan adanya Monolog Keayahan semakin meluas dan tertanam dalam hati para ayah, sehingga anak-anak mendapatkan haknya bermain, belajar, bersahabat, berlatih dengan ayah mereka.
“Jangan sampai muncul akibat minimnya perhatian ayah secara psikologi membuat anak menjadi ‘father hunger’ (anak lapar ayah, Red), karena tugas utama ayah adalah loving (mencintai) pada usia dini mulai umur 0-5 tahun, lalu coaching (melatih/membina) dan modeling (memberi teladan, Red),” pesan Ayah Irwan.
Monolog Keayahan “Negeri Tanpa Ayah” diselenggarakan dengan dukungan Yayasan Langkah Kita, yang hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan untuk pengembangan program Sekolah Orangtua Rumah Anak Soleh (SOT RAS) di Padang, Sumatera Barat.* Zulkarnain