Gaya hidup minimalis bukan hanya tren sesaat. Sejumlah riset pun mengungkap dampak positifnya terhadap kesehatan mental
Hidayatullah.com | DALAM dunia modern yang penuh tuntutan dan hiruk-pikuk, banyak orang kini mulai melirik gaya hidup minimalis sebagai jalan baru menuju ketenangan jiwa dan kesehatan mental yang lebih baik.
Gaya hidup minimalis bukan sekadar soal merapikan rumah atau membuang barang yang tak lagi digunakan. Lebih dari itu, ia adalah seni memilih—hanya menyimpan apa yang benar-benar bermakna, dan membebaskan diri dari beban yang tidak perlu, baik secara fisik maupun emosional.
Dr. Nurul Ain Mohamad Kamal, Pakar Psikiatri Umum dan Psikogeriatrik dari Rumah Sakit Canselor Tuanku Muhriz, menjelaskan bahwa hidup dengan lebih sedikit barang bukan berarti hidup dalam kekurangan. Justru, inilah jalan menuju ruang yang lebih lega—baik di rumah maupun di dalam pikiran.
“Ketika barang-barang berkurang, ruang fisik menjadi lebih tertata dan bebas dari kekacauan. Ini bisa mengurangi gangguan visual yang selama ini tanpa disadari menjadi sumber stres dan kecemasan,” ungkap Dr. Nurul Ain dalam wawancaranya bersama Bernama.
Ia menambahkan, hidup dengan jumlah barang yang wajar juga dapat meringankan beban mental. Kita tidak perlu lagi sibuk memikirkan penyimpanan, perawatan, atau godaan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
Bukti Ilmiah di Balik Minimalisme
Gaya hidup minimalis bukan hanya tren sesaat. Sejumlah riset pun mengungkap dampak positifnya terhadap kesehatan mental.
Sebuah studi yang dimuat dalam ScienceDirect (2021) menunjukkan bahwa hidup minimalis mampu meningkatkan perasaan positif seperti kepuasan dan ketenangan, sekaligus mengurangi gejala depresi.
Sementara itu, penelitian lain dalam International Journal of Applied Positive Psychology (2020) menyebut bahwa mereka yang menjalani gaya hidup ini cenderung memiliki rasa otonomi lebih tinggi, merasa lebih kompeten, punya ruang berpikir yang lebih luas, serta emosi yang lebih stabil.
Filosofi “Spark Joy” dan Menemukan Arti Hidup
Salah satu metode yang direkomendasikan Dr. Nurul Ain adalah pendekatan KonMari, yang dipopulerkan oleh konsultan Jepang, Marie Kondo. Intinya sederhana: simpan hanya benda yang benar-benar “spark joy”, atau memunculkan rasa bahagia.
“Konsep ini bisa menjadi bentuk refleksi diri yang dalam—kita belajar mengenal kembali apa yang benar-benar penting dalam hidup. Bahkan, hubungan kita dengan lingkungan dan emosi bisa menjadi lebih sehat,” kata Dr. Nurul Ain.
Ia juga mengingatkan bahwa sering kali kita menyimpan sesuatu hanya karena rasa bersalah atau ketakutan untuk melepaskannya. Ini bisa menandakan adanya luka emosional yang belum disembuhkan.
Namun jika sebuah barang memang memiliki fungsi nyata dan digunakan secara aktif, maka kehadirannya tetap layak dipertahankan.
Jangan Sampai Ekstrem
Meski banyak manfaatnya, gaya hidup minimalis juga perlu dijalani dengan seimbang. Membuang terlalu banyak barang secara impulsif bisa berdampak negatif, terutama jika barang tersebut punya nilai sentimental atau merepresentasikan bagian penting dari kehidupan kita.
“Kalau dilakukan secara ekstrem, minimalisme malah bisa menyebabkan kehampaan identitas,” ujar Dr. Nurul Ain mengingatkan.
Minimalisme bukan sekadar tentang ruang kosong atau rumah rapi. Ia adalah perjalanan menyusun ulang prioritas, mengenali apa yang benar-benar penting, dan pada akhirnya—membangun hidup yang lebih bermakna.*