Hidayatullah.com–Aksi kejahatan akibat minuman keras rupanya tak berdampak pada pengusaha. Pengusaha menilai rencana pemerintah memberlakukan tarif pajak spesifik pada minuman beralkohol sebagai hal yang kontraproduktif. Kebijakan itu akan membuat harga minuman keras melambung dan berpotensi membuat penyelundupan makin marak, katanya.
Carla Parengkuan, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, kenaikan pajak bisa membuat hotel dan restoran kesulitan mendapatkan minuman keras. “Kami sudah mengirimkan permohonan kepada pembuat kebijakan untuk menurunkan pajak. Kok sekarang malah mau naik?” kata Carla dikutip Kontan.
Menurut Carla, jika pemerintah ingin kedatangan wisatawan mancanegara tak terganggu setelah ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriot, maka pemerintah harus mempermudah pasokan minuman keras yang memang wajib tersedia di hotel dan restoran.
Sementara, kata Carla, di negara lain, penurunan pajak minuman keras menjadi salah satu senjata penarik wisatawan. Hong Kong, misalnya, saat ini tidak lagi mengenakan pajak pada minuman beralkohol.
Sementara Singapura hanya memungut pajak sebesar S$ 7,6 per liter. Alhasil, bisnis minuman beralkohol di sana tumbuh. Para importir leluasa memasukkan minuman berkualitas bagus. Itu juga menarik wisatawan datang.
Selain itu, menurut Ipung Nimpuno, Manajer PT Gitaswara Indonesia, produsen bir merek Guinness, pengenaan pajak akan membuat produsen kesulitan menjual produk. “Daya beli konsumen kan ada batasnya,” tutur Ipung.
Makin mahalnya harga minuman beralkohol juga membuat konsumen beralih ke minuman murah atau palsu. Maka, Pemerintah memberikan peluang pada pasar ilegal untuk berkembang.
Pemerintah saat ini berencana mengenakan pajak spesifik pada minuman keras, kendati sudah memungut cukai, bea masuk dan pajak penjualan barang mewah. Pajak spesifik itu berdasarkan kadar alkohol. Makin tinggi kadarnya, kian tinggi pajaknya. [ktk/cha/hidayatullah.com]