Hidayatullah.com | “MAU dikasih obat apa pun, percuma saja.”
Salah seorang dokter mengatakan itu kepada David Mailendra, 45, seorang pengusaha. Ceritanya begini. Pada sekitar tahun 2013-2014, David menderita sakit luar biasa. Sampai-sampai, hampir sebulan dua kali ia masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit.
“Sakitnya itu enggak ketulungan. Ke rumah sakit 3 jam, 4 jam nanti dikasih penghilang rasa sakit yang lewat dubur, atau disuntik, terus reda,” tutur pengusaha alat kesehatan ini.
Suatu waktu, David merasakan sakit bagian jantungnya. Ia langsung ke RS khusus jantung, memeriksakan diri ke salah satu dokter terbaik di Indonesia.
Menurut dokter, David tidak mengalami serangan jantung. Sakit yang diderita kemungkinan akibat stres, menyebabkan otot pembuluh darah jantung mengecil temporer, bikin sesak. Hasil pemeriksaan MSCT (Multislice Computerized Tomography) pun menunjukkan tak ada penyumbatan di jantung.
Menurut dokter lain, ahli penyakit dalam, sakit yang diderita David karena asam lambung yang tidak terkontrol. Dokter pun tidak memberikannya obat. Alasannya, pemicu paling besar asam lambung tak terkontrol adalah pikiran, bukan makanan.
“Diobati dengan cara apapun dia akan timbul terus, tidak bisa diobati,” tutur dokter sebagaimana diceritakan David saat diwawancarai hidayatullah.com belum lama ini.
Baca: Lawan Rentenir, NTB Luncurkan “Mawar Emas”, Masyarakat Bisa Pinjam Modal ke Masjid
Selama sekitar setahun itu David sakit-sakitan. Lalu, pada 2015, David mulai mencari-cari apa yang salah dari kehidupannya sehingga diuji begitu.
Ia berpikir, stres yang dialaminya mungkin karena terlalu banyak beban. Memang, saat itu ia punya utang melimpah. “Waktu itu cicilan sebulan sekitar Rp 100 juta ke bank,” tuturnya.
Akhirnya, dia mulai mencari jawabannya dengan kembali ke agama. Oktober 2015, David ikut seminar Masyarakat Tanpa Riba (MTR) di Bandung, Jawa Barat, mengupas tentang riba. Ia lalu sadar bahwa selama ini terlibat riba lewat kredit di bank.
“Di situ saya bertekad untuk meninggalkan riba. Saya paham, saya ini pelaku riba, saya mesti tinggalkan,” ungkap pria yang tinggal Bintaro, Tangerang Selatan, Banten ini.
Begitu sadar, David mengumpulkan keluarganya, menyampaikan pemahaman dan kesadarannya untuk segera meninggalkan riba dan kebiasaan berutang. “Kami sepakat mulai sekarang enggak boleh ngutang lagi, enggak boleh ngeredit. Apa pun itu,” sebutnya.
David punya 4 kartu kredit. Limitnya beratus-ratus juta rupiah. “Pernah saya gesek itu satu kali saya gesek sampai Rp 670 juta,” sebutnya. Ia memang nasabah prioritas di bank. Tapi ia bukan pamer saat menceritakan ini. Justru sebaliknya. Kartu-kartu kredit itu telah dimusnahkannya.
“Kita gunting semua yang punya saya (dan) punya istri,” tuturnya.
Aksi itulah salah satu bentuk komitmen David untuk hijrah dari riba. Kini ia diamanahi sebagai Ketua MTR. Ini komunitas penggiat anti riba, dikelola oleh semua warga MTR se-Indonesia. Komunitas ini didirikan oleh salah seorang ustadz yang sudah terkenal tapi meminta kepada hidayatullah.com agar namanya tidak disebutkan.
Selain karena agama memang melarang riba, David meninggalkan praktik haram itu karena sudah membuatnya stres dan sakit-sakitan. Otomatis, hidupnya tidak tenang.
Buktinya, ia merasakan, setelah meninggalkan riba kini tidak lagi sakit-sakitan seperti sebelum hijrah. “Mungkin karena enggak stres lagi mikirin cicilan, jadi asam lambung bisa normal,” ungkapnya. Ternyata, “obat” atas sakitnya adalah dengan meninggalkan riba dan utang-utang.* Azim Arrasyid/Muh. Abdus Syakur
- Kisah pengusaha hijrah dari riba lainnya bisa dibaca di Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2020