SEJAK masa nyantri dahulu, aku sudah akrab dengan kata berdakwah. Lika-liku perjalanan seorang juru dakwah terutama yang berdakwah di daerah pedalaman juga sudah bukan cerita baru bagiku.
Iya, hal itu kualami sebab aku sendiri lahir dan dibesarkan di sebuah pondok pesantren di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Konon, pesantren yang kini menjelma menjadi miniatur perkampungan Islami tersebut awalnya adalah belantara yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liar dan dipenuhi dengan tanah rawa.
Menginjak masa kuliah, wawasan dan pengetahuanku tentang dakwah dan ilmu-ilmu agama kian bertambah secara teoritis.
Nyaris segalanya sudah kutahu, termasuk ketika diharuskan menjawab soal-soal ujian tentang persoalan tersebut dalam perkuliahan.
Kini, satu hal yang mengganjal, sebab aku sendiri belum pernah merasakan langsung yang disebut tugas ke daerah untuk berdakwah itu.
Padahal pekerjaan sehari-hari orangtuaku adalah dai dan mendapat sebutan ustadz di lingkungannya.
Tak terasa waktu terus berlalu. Tepat di bulan Januari 2013, suamiku mendapat amanah untuk berdakwah ke pelosok daerah Batu Kajang, Kab. Tana Paser, Kalimantan Timur.
Kamipun boyongan hijrah bersama tiga orang serdadu kecil kami, lengkap dengan segala asesoris rombengan yang menyertai.
Belum juga tiba di lokasi yang dituju, segala bayangan yang tak mengenakkan satu persatu menghampiri benakku dalam perjalanan.
Usai menempuh 60 menit perjalanan darat menuju pelabuhan Kariangau di ujung barat Kota Balikpapan.
Kami masih harus terombang-ambing di tengah laut selama dua jam lebih bersama ratusan penumpang kapal ferry lainnya.
Tiba di daratan seberang di pelabuhan Penajam, ternyata bukan akhir dari perjalanan. Sebab kami masih harus berdesakan di atas mobil angkutan umum selama tiga jam lebih lamanya hingga tiba di daerah tugas.
Jalanan yang berkelok tajam, menyusuri belantara lebat dan perkebunan kelapa sawit, aspal yang bertabur lubang dan tak kunjung rata kian menambah penderitaanku selama di jalan.
Jangan tanya bagaimana rasanya mabuk di perjalanan. Terlebih bisa dikata, ini adalah debut perdanaku bepergian jauh dari rumah alias keluar dari kampung halaman.
Entah seperti apa rupa dan penampilanku selama di perjalanan. Aku sungguh tak peduli lagi.
Bagiku, berangkat tugas berdakwah ini benar-benar tak mudah sejak di awal. Lalu bagimana nanti ketika berdakwah?
Apalagi lingkungan tersebut benar-benar baru bagiku. Belum lagi harus berpisah dengan orangtuaku dan saudara-saudaraku yang lain. Sebuah perpisahan yang sungguh menyedihkan dan meluruhkan air mata.
Seorang kawanku bahkan pernah bercanda, “Batu Kajang itu letaknya di pelosok banget lho. Ada di tengah hutan,” ujar Ida, sahabatku.
“Nyari di google map juga belum tentu ketemu, apalagi di dalam buku Peta Sekolah Dasar (SD),” imbuhnya meledekku sambil bercanda.
Modal keyakinan.
Ya Allah bisa apa hamba-Mu ini? Mungkin inilah ratapan yang paling sering kulaporkan di sela rintihan doaku di tengah malam.
Belum juga genap satu pekan, beberapa amanah sudah menumpuk dan memberati pundakku.
Mulai dari menjadi guru di sekolah hingga menjadi pemateri dadakan di sejumlah acara pengajian atau taklim ibu-ibu.
Di tempat hijrahku ini pula, aku tiba-tiba disemati “gelar” selaku murabbiyah (pembina) halaqah al-Quran. Suatu hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Tak ada alasan untuk menolak amanah dakwah. Inilah yang memberatkan diriku. Sebab di detik yang sama aku juga menyadari kapasitas yang kumiliki tak sepadan dengan asa yang dititip kepadaku.
Masih terngiang perkataan seorang ustadzahku dahulu, jika seorang Muslim menolak amanah karena merasa tidak mampu justru itu indikasi adanya bibit keangkuhan yang bercokol.
Sebab ukuran kemampuan itu hanya diukur dengan kesanggupan dirinya dan logika berpikirnya.
Sedang sesungguhnya Allah-lah Pemilik kemampuan itu. La haula wa la quwwata illa billah. Demikian kalimat yang sering diajarkan kepada kami di pesantren dahulu.
Berbagai pertanyaan dari masyarakat yang kubina juga kerap membuatku tersadar dengan ilmu yang kumiliki.
Mulai dari persoalan tentang fiqh, akidah, tafsir, hadits, hingga masalah parenting (konsultasi keluarga).
Semuanya mengarah ke diriku, hanya karena aku terlanjur dilabeli panggilan ‘ustadzah’ oleh murid-muridku di sekolah.
Terakhir, satu hal yang membuatku bersyukur, berbagai tantangan dakwah ini makin menyadarkan diriku akan amanah dan tanggung jawab sebagai saudara seiman dalam berdakwah.
Persoalan keilmuan juga membuatku sadar, tak sedikit waktu yang terbuang sia-sia selama proses belajar masa santri di pesantren dahulu.
Sedang di ujung pelosok sana, di berbagai belahan nusantara, bahkan dunia, ada sejumlah anak-anak Muslim yang butuh untuk diajari ilmu-ilmu dasar keislaman.
Kini, di sela keterbatasan ilmu yang kupunyai, aku hanya ingin diberi keistiqamahan menetapi jalan dakwah ini.
Sebab jika bukan para generasi muda Muslim/ Muslimah yang tandang ke gelanggang ke medan dakwah, lalu siapa lagi yang diharap untuk memikul amanah dakwah ini?*/Mujtahidah, guru di pelosok Batu Kajang, Kalimantan Timur