BEBERAPA minggu lagi insya Allah saya akan merampungkan program master bidang studi Islam di tempat yang begitu jauh dari Tanah air. Meski telah lama jauh dari tanah kelahiran, sesekali, saya membuka berita untuk melepas kangen dan rindu akan bumi pertiwi, Indonesia. Maklum saja sudah hampir 8 tahun saya berada di tanah Arab.
Hanya saja, setiap saya membaca berita di media, kegalauan dan kegundahan hati saya sering terus muncul.
Menurut saya, Indonesia hari ini sangat berbeda dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu, di mana ketika saya menghabiskan masa kecil di sebuah desa terpencil dengan literatur masyarakatnya yang lemah lembut.
Karena pekerjaan orangtua, saya pernah berpindah-pindah tempat. Bahkan pernah semasa sekolah dasar (SD), saya pindah tiga kali. Tetap saja, di mana tempat saya temui, warga Indonesia orang yang ramah.
Catatan ringan ini bukan untuk cerita masa kecil, melainkan ingin memotret negeriku sayang saya banggakan, yaa….dialah Indonesia. Sebuah bangsa yang bukan sekedar suku, ras atau golongan tertentu dan pada satu golongan saja.
Entahlah, setiap saya membaca berita di media, selalu yang disajikan membuat dahi ini mengkerut dan membosankan. Tapi itulah, tiap hari yang say abaca tetang Indonesia bukan berita-berita yang menggembirakan. Mengapa ya, media kita masih memakai teori kuno berbunyi, “A Bad News is a Good News”. Saya sebenarnya merindukan sisi-sisi menarik negeriku yang patut dibanggakan. Dan saya yakin, itu sangat banyak.
Percaya tidak percaya, memang fenomena demi fenomena itu hadir menghiasi hari-hari kita, fenomena para elit, kisruh Pilkada, tawuran antar warga, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, krisis moral, miskin toleransi dan lain sebagainya. Bahkan pelajar atau mahasiswa yang tawuran bisa-bisanya membawa pedang, seperti geng-geng yang saya temukan di film Hong Kong saja. Tapi itulah potret bangsa kita hari ini.
Kadang saya berpikir apakah negeri ini harus hancur-lebur terlebih dahulu, sebagaimana saat dijajah oleh hegemoni Barat puluhan tahun silam? Lalu dengan itu, semua lapisan masyarakat kita dari berbagai unsur bersatu mengusir penjajah atas nama Indonesia tercinta?
Terlalu panjang jika harus bercerita negeri kita –negeri yang menurut saya– sudah mulai banyak kehilangan jati diri dengan keramahtamahannya, lemah lembut dan lain-lain. Paling tidak, saya jadi teringat ucapan nenek yang berpesan sebelum saya menimba ilmu di luar negeri, “Nak, usahakan, jagalah hati orang, jaga jangan sampai kita menyakiti hati orang sedikit pun,” begitu pesan beliau.
Teringat juga pesan Rasulullah betapa pentingnya kebajikan pada orang lain. Nabi mengajarkan murah senyum, ceria di saat bertemu dengan saudara, rekan, kerabat, handai taulan dan orang lain yang belum kita kenal.
Begitu mulianya Islam memanusiakan manusia dengan segala ajarannya yang lurus, tapi saying, kini kita justru banting setir kembali ke zaman primitif. Maraknya kekerasan, perpecahan, kemiskinan yang merajalela ditambah kebodohan.
Saya hanya bisa memandang langit untuk saat ini dan berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’a, akankah Indonesia lebih baik dan lebih bermakna di hari-hari mendatang, ketika saya kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiran saya.
Sambil merenung, saya teringat perangai lemah-lembut almarhumah ibunda. Paling tidak, melihat hiruk-pikuk dunia sekarang ini, saya akhirnya bisa menangkap pesan-pesan tersirat yang dulu banyak kami peroleh darinya. Tidak jauh seperti pesan nenek saya tadi. Semoga.
Salam dari Maroko, negeri di penghujung Afrika.*
Ditulis: Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc