“MAAF, ibu. Apa dedeknya sudah kencing?” ujar seorang bidan sebuah rumah sakit, yang menangani persalinan istri.
“Belum, sepertinya, ibu. Semalam BAB (Buang Air Besar) saja. Sudah beberapa kali,” jawab istri.
“Kalau begitu, diperhatikan, ibu yah. Kalau sudah kecing, nanti diberitahu saya,” pesannya.
Istri pun mengangguk paham. Bidan pun berlalu. Keluar ruangan. Seperginya bidan, saya mendekati istri, yang berbaring lemah di atas ranjang pasien. Sejatinya, sejak sehari sebelumnya, pasca kelahiran kurang memperhatikan popok yang dikenakan oleh si adik kecil.
Apakah ia kencing atau tidak. Ketika menangis mengaung-ngaung, saya periksa. Ada kotoran BAB. Langsung saja dibersihkan. Tanpa diperhatikan, apakah ada campuran kencing atau tidak. Sebab, memang juga tidak ada petunjuk dari bidan atau pun perawat yang menangani.
Pesan mereka. Kalau si bayi merengek, segera dicek popok. Sebab mungkin BAB/kencing. Maka harus segera dibersihkan. Sebab, bayi sangat sensitif dalam hal ini. Ganti dengan yang baru. Sudah itu saja. Tidak ada anjuran untuk ‘meneliti’ antara BAB dan kencing, kemudian melaporkannya kepada si bidan.
“Tadi malam, sebenarnya kencing apa tidak, dedek, yah?” ujar saya kepada istri. Seakan ingin mengingat-ingat kondisi popok. Dan popok yang digunakan semalam, sudah terbuang.
“Enggak tahu juga,” ujar istri, dengan nada ragu.
“Ya sudah, lah. Nanti kalau adik nangis, jangan lupa perhatikan saja isi popoknya. Ada kencingnya atau tidak,” ujar saya kepada istri.
Selesai ashar, kembali bidan berkunjung ke ruangan. Kali ini, hendak memandikan bayi. Diperiksanya popok. Pikir saya, pasti ingin memastikan, keluar atau tidaknya kencing.
“Belum kencing adiknya, ya bu!” katanya, menginformasikan.
Mulanya, khususnya saya pribadi biasa saja mendengar informasi itu. Barulah menangkap ada sinyal bahaya, ketika si bidan itu meneruskan kata-katanya.
“Bapak-ibu, ini dedeknya belum bisa diizinkan pulang, bila memang belum kencing. Harus dirawat inap. Dokter pun tidak akan mengizinkan,” terangnya.
Duugg…!
Terang saja, saya dan istri kaget dengan berita itu. Benak pun langsung dijubeli dengan kemungkinan-kemungkinan negatif. Tapi saya coba langsung tepis. Khawatir terijabah. Sebab, bukankah Allah bersama dengan prasangka hamba-Nya?
Makanya, saya coba bangun pikiran-pikiran positif. Bahwa, bayi kami tidak ada gangguan apapun. Sehat luar-dalam. Tidak kekurangan apapun dalam kelengkapan organ. Sehat semua. Berfungsi dengan baik. Lazimnya para bayi yang sehat.
Maghrib waktunya dokter anak akan memeriksa bayi. Kalau normal, maka kami langsung bisa pulang ke rumah. Semua barang sudah dikemas rapi. Sudah siap untuk pulang. Dan memang, sudah tidak betah lagi lama-lama di rumah sakit. Inginnya cepat balik. apalagi, sudah dua hari, pakaian belum ganti. Karena memang jadwal pulang, di luar pertimbangan.
Adzan maghrib berkumandang. Saya pergi ke masjid. Selesai shalat, saya langsung bermunajat kepada Allah. Memohon agar bayi kami diberi kesehatan. Bahkan, secara khusus meminta agar dikeluarkan kecingnya.
“Yaa Allah, Engkau lah menentukan segala sesuatu. Atas kehendak-Mu pulalah, putri hamba, bisa kencing. Maka keluarkanlah kencingnya, sehingga kami bisa pulang,” doa saya kepada Allah.
Selesai shalat, langsung bersegera ke kamar rawat pasien. “Apa dokternya sudah datang?” tanya saya kepada istri.
“Sudah diperiksa. Kata dokter, harus dipastikan bayi kencing dulu. Baru bisa diizinkan pulang,” jelas istri.
Mendengar keterangan itu, saya mencoba menenangkan diri. Mencoba membangun keyakinan, bahwa segala sesuatunya telah ditentukan Allah. Apapun yang terjadi. Tapi tetap, bermunajat, agar Allah memberi takdir yang terbaik bagi bayi kami. Tidak terjadi apa-apa dengan kesehatannya.
Tidak lama, tiga bidan masuk ruangan. Dua menggunakan seragam biru, mulai dari kerudung sampai bawahan. Dan yang satu lagi, memakai segaram putih. Di tangan salah seorang dari mereka, menenteng selang kecil, dan beberapa katong plastik.
Ketiganya langsung mengerubungi bayi kami. Saya tidak bisa ikut memperhatikan apa yang mereka lakukan secara seksama. Sesekali saja. Sebab, harus menyuapi makan malam kedua putri kami lainnya. Tapi, ketika sesekali melihat, nampak para bidan itu tengah memancing-mancing kecing bayi. Selang kecil itu dimasukkan ke alat pembuangan air kecil. Tangis bayi pun menggelegar.
Sebagai rangtua, tentu saja tersayat hati mendengarnya. Bayi yang masih seumur sehari itu, harus diperlakukan demikian. Karena tidak keluar kencingnya. Ah…, terasa betul berapa berharganya kencing itu. Bahwa, bisa kencing itu nikmat besar. Kalau terkendala, itu berbahaya. Apalagi kalau sampai parah. Bisa berjuta-juta habisnya. Operasi dan sebagainya.
Dan tentu saja, kami, khususnya saya sebagai kepala keluarga, tidak mengharapkan demikian. Karenanya, sambil menyuapi, dalam hati terus berucap dzikir dan memohon kepada Allah, agar memudahkah segala urusan. Saya yakini, tidak ada perkara sulit, bila Allah telah menentukan kemudahan jalurnya. Itulah yang pribadi harap.
Alhamdulillah, setelah beberapa lama waktu berjalan, apa yang dinanti akhirnya keluar.
“Alhamdulillah, akhirnya keluar,” ujar seorang bidan.
Oh…., Alhamdulillah. Bayi kami pun akhirnya kencing. Hati pun jadi riang. Kabut hitam yang sempat menghinggap, akhirnya pergi jauh.
“Lho, enak ya, Dik. Tidak sakit lagi perutnya,” ujar bidan yang lain. Mengajak bicara bayi kami.
“Sudah, langsung laporkan saja ke dokter, kalau anaknya sudah bisa kencing. Banyak sekali. Bahkan, sudah bisa keluar sendiri, tanpa dirangsang,” ujar seorang bidan, yang perawakannya lebih senior, kepada bidan yang lebih muda.
Tak lama berselang. Bidan itu kembali datang, dan memberitahu; “Pak, kata dokter, bapak boleh pulang malam ini. Tapi, kalau dalam waktu 24 jam belum kencing-kencing, harus segera kembali dibawa ke rumah sakit.”
Kami pun menyiapkan diri untuk pulang. Setelah membereskan administrasi, langsung bergegas meninggalkan rumah sakit. Dan Alhamdulillah, ketika sampai di rumah, adik bayi kencingnya lancar.
“Alhamdulillah, terima kasih, yaa Allah, atas segala kemudahan yang diberikan.”* Sebagaimana yang dikisahkah oleh Abu Aqila kepada Kharul Hibri/hidayatullah.com