SAYA dari keluarga Kristen. Sebagai seorang pendeta, ayah keras mendidik saya. Sudah biasa saya dihajar pakai ikat pinggang.
Tapi dari ayahlah saya mendapat tetesan “darah” seni. Ayah mahir memainkan berbagai alat musik. Sedangkan saya sangat suka musik rock. Bahkan saya sempat membuat band. Sebagai seorang vokalis, penghayatan terhadap lagu–lagu yang saya bawakan, ternyata berpengaruh kepada cara berpikir dan gaya hidup saya.
Saya akhirnya terseret masuk ke dunia musik underground, hingga seorang teman memberi saya sebuah buku berjudul “Peta Pemikiran Karl Marx”. Buku kecil berwarna merah itulah pintu awal pencarian jati diri saya. Dari buku ini saya diajari bahwa agama itu candu masyarakat.
Sikap anti agama saya makin kuat setelah membaca buku “Senja Kala Berhala dan Anti Krist” karya Friedrich Nietzhie.
Sekalipun anti agama, saya masih datang gereja. Kalau tidak, saya tidak dapat uang jajan dari Mama. He…he…
Sikap memilih menjadi atheis juga dilatari fakta pertikaian di internal gereja. Saya melihat agama telah menjadi komoditas bisnis. Pendeta-pendeta hanya menjadikan agama sebagai alat untuk mencari makan.
Dari kekecewaan itu, saya mulai mencari ruang baru dari dinamika pemikiran saya. Beberapa CD Public Enemy dan kutipan lagu Wake Up dari Rage Againts The Machine (RATM) menyentil perhatian saya.
Meskipun RATM bukan band Islam, namun kutipan syair lagu Wake Up (Bangun) seperti benar-benar membangunkan pencarian jawaban dari keresahan saya tentang Tuhan, keadilan dan dunia yang lebih baik.
Lagu yang menceritakan tentang pembunuhan Malcolm X tersebut membuat saya tertarik mengenal sosok Malcolm X. Rasa penasaran terhadap tokoh pejuang hak asasi manusia asal Amerika ini mendorong saya untuk mencari berbagai informasi mengenai kehidupan dia.
Saya belajar banyak dari dia. Dari Malcolm X kemudian saya mengenal Muhammad Ali dan Nabi Muhammad SAW.
Dari salah satu literatur Malcolm, ada satu kalimatnya kepada Muhammad Ali petinju legendaris Amerika yang membuat saya terkesan. Ketika Muhammad Ali mengecam kaum kulit putih yang menindas Yahudi dan orang kulit hitam, Malcolm justru berkata, ”Di Makkah, saya lihat orang bermata coklat, biru, hitam serta berkulit putih, dan coklat semuanya duduk bersama.”
Kalimat yang mengungkapkan kekaguman Malcolm terhadap umat Islam tersebut, membuat saya semakin tertarik dengan Islam.
Suatu ketika saya duduk dengan seorang sahabat SMA yang juga sama-sama Rapper. Sahabat itu bertanya sederhana.
“Richard, kalau Lu doa kemana dulu; ke bapak, ke anak, apa ke roh kudus. Mana dulu yang denger?”
Pertanyaan itu semakin mengeraskan penolakan saya kepada relevansi kekristenan. Di sisi lain saya juga sadar gagasan sosialisme, komunisme hingga atheisme sendiri mulai absurd.
Rasa jenuh itu kemudian saya lampiaskan kepada seorang sahabat sesama anak band di komunitas underground, namanya Arif Saefulloh. Ia sosok yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang Muslim kendati sedang manggung.
Kepada Arif saya mengutarakan niat saya untuk masuk Islam. Eh, bukan dukungan yang saya peroleh, justru larangan yang saya dapat. Arif tidak menginginkan keputusan saya masuk Islam lebih karena faktor emosional sesaat.
Saya tidak menyerah. Saya menemui teman-teman lainnya dari kalangan komunitas underground yang beragama Islam. Dengan bertempat di pinggir jalan yang berada di Kompleks Perumahan Taman Kartini, Bekasi, saya mengucapkan syahadat di hadapan teman-temannya. Peristiwa itu terjadi tahun 2002 dan yang menjadi saksi saya adalah teman-teman yang memakai baju Sepultura, Kurt Cobain, dan Metallica.* (Diceritakan langsung kepada Bambang S, wartawan Majalah Suara Hidayatullah)