MENYIKAPI hidup, sesulit apapun itu, selayaknya harus senantiasa berpikir jernih. Sabar, iktiar serta bertawakal kepada-Nya adalah solusi terbaik. Tidak asal mencari jawaban yang bias yang sudah pasti tidak sesuai dengan harapan.
Pelajaran ini sesuai dengan kisah yang dialami Sanusi (40), sebut saja begitu, seorang sopir yang tinggal di Jakarta Timur.
Dengan alasan tak menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, seorang istrinya menjadi korban dari ‘Bank Keliling’. Awalnya, sang istri beralasan terlibat ‘Bank Keliling” (rentenir keleling, red) karena penghasilan suaminya tidak dapat menutupi kebutuhan yang ada.
Dengan alasan pekerjaan suaminya hanyalah sopir di salah satu angkutan umum Jakarta, sehingga dirasakan kurang di dalam mentupi kebutuhan yang ada, tanpa izin sang suami, diam-diam ia terlibat hutang-piutang dengan “Bank Keliling”.
Ibu yang memiliki lima anak masih kecil-kecil ini “menjalin” hubungan dengan ‘Bank Keliling’ di saat suamunya berangkat pagi.
Sanusi baru tahu hingga suatu hari banyak barang-barang yang ada di rumah “disita” pihak ‘Bank Keliling’ karena bunga tanggungan sang istri telah membengkak.
Setelah dikonfirmasi langsung oleh suaminya, sang istri baru mengakui, jika selama ini ia telah terlibat dengan ‘Bank” rente ini.
Sanusi adalah salah satu kurban “Bank Keliling” dianggap sebagian warga “kelas bawah” sebagai solusi dalam menyingkirkan kebuntuan masalah hidup sehari-hari. Banyak pula di antara warga yang sudah “menjalaninya”. Hingga ia sendiri tidak tahu bahwa ternyata itu bukanlah sebuah solusi yang berarti. Bahkan beberapa contoh yang tak asing lagi, barang-barang yang ada di rumah telah diwajibkan disita oleh pelaku ‘Bank Keliling’ karena bunga yang membengkak dari pinjaman tersebut.
“Dia (isteri) berhutang dengan “Bank Keliling” dan saya tidak tahu. Saya baru tahu saat saya di rumah dan bertemu dengan pihak penagih. Ternyata hutangya hingga jutaan rupiah,” ujar Sanusi pada hidayatullah.com dengan nada mengeluh.
Sopir yang nama aslinya minta disamarkan itu bercerita mengapa isterinya berbuat demikian karena tidak dapat perhitungaan dalam pengeluaran. Selain itu hilangnya faktor ikhlas dan tawakkal.
Padahal, lanjutnya, di saat ia berangkat keluar, tidak lupa selalu memberikan uang belanja yang ia yakini sangat cukup untuk isteri dan lima anaknya. Faktanya, ia baru sadar selama ini dengan keterlibatan “Bank Keliling”, yang ada justru terlihat kekurangan.
“Padahal setiap hari saya berikan uang belanja. Tapi kok masih saja berhutang. Dan tidak ada perubahan,” ucapnya.
Kejadian yang dialami oleh keluarga sopir ini ternyata bukan kali pertama. Dahulu, ia bercerita pernah pula mengalaminya di tempat tinggal lain. Akibat hutang istrinya kala itu hingga ia merasakan dikejar-kejar hutang. Mengingat bunganya semakin besar di setiap pergantian hari, ia pun mengakui harus keluar uang ekstra untuk kebutuhan di rumah.
“Ya, sebelumnya pernah juga seperti ini. Tidak tahu berapa persen sudah bunganya,” imbuhnya dengan wajah sedikit kesal.
Saat berita ini ditulis, ia dapati sang isteri dan satu anaknya yang masih kecil sudah tidak lagi di rumah. Kepergian sang istri diduga ini terkait keterlibatan dengan rentenir tersebut.
Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat dan pandagan warga dan tetangga sekitarnya. Mereka mengatakan bahwa isteri sopir tersebut seperti stres. Ini dinilai karena ia acapkali pulang-pergi meninggalkan rumah tanpa atau tahu dari suami. Bahkan warga sering mendapati kelima anaknya terlantar dan sering mendapatkan bantuan makanan dari tetangga sekitar rumah.
“Ya, terlihat stres. Mungkin karena hutangnya sudah menumpuk,” ucap tetangga dekatnya.*