Hidayatullah.com–DI sore yang dingin, anak-anak kecil bermain diantara barisan tenda-tenda darurat, bingkau kayu dari bangunan mereka tutupi dengan plastik, dan karpet tua. Seorang balita berumur lima tahun Randa meringkuk di samping sebuah kompor tua dekat tenda keluarganya.
“Aku tidak suka,” ujarnya menangis. “Ini terlalu dingin.”
Foto: Tidak ada pemanas, saluran air ataupun toilet di dalam tenda pemukiman ilegal ini [Stylianos Papardelas/Al Jazeera]
Sekitar 125 pengungsi Suriah tinggal di kamp ilegal ini, yang didirikan dekat Ramtha wilayah barat laut Jordania. Mereka kebanyakan dari keluarga petani dari wilayah barat Suriah daerah Hama dan Homs, yang telah terkena dampak langsung dari perang sipil yang sedang terjadi Negara mereka.
Orang-orang ini adalah bagian dari krisis terkantung-kantungnya pengungsi Suriah yang hampir terlupakan – hampir 20.000 orang Suriah tinggal dalam keadaan kumuh di tenda-tenda darurat yang tersebar di daerah terpencil di lembah Jordania dan di luarnya.
“Aku tiba di sini tiga tahun lalu karena lebih mudah mencari pekerjaan selama masa panen,” ujar Omar Hameed (29) seorang penduduk asli Hama mengatakan pada Al Jazeera, Sabtu, 09 Januari 2016 lalu.
Pedagang hewan ini mengungsi dari Suriah dengan empat anaknya dan istrinya, yang sekarang sedang mengandung anak kelimanya. Hameed mengkhawatirkan kondisi tempat mereka tinggal kini.
“Ketika hujan, air akan merembes ke dalam,” kata dia. “Tenda akan banjir dan lumpur akan memenuhi tenda kami. Tikus-tikus dari sawah akan masuk ke dalam,” ujarnya.
Keluarga Hameed bertahan hidup dengan kupon makanan yang dibagikan setiap bulan oleh Program Pangan Dunia. Mayoritas para pengungsi di kamp ini terdaftar di program PBB dan untuk itu mereka mendapatkan kupon bulanan bernilai 50 Dinar Jordania (70 $) per keluarga.
Tetapi kupon tersebut, hanya dapat ditukarkan dengan bahan makanan pokok, tidak mencukupi untuk memberi makan satu keluarga untuk satu bulan. Untuk menutupi itu, banyak keluarga bekerja serabutan di perkebunan-perkebunan Jordania di dekat tempat mereka mendirikan tenda. Beberapa di angara mereka mengatakan mereka menghasilkan lima Dinar Jordania (7$) untuk 12 sampai 14 jam sebagai buruh tani.
Sejak perang Suriah dimulai sekitar lima tahun lalu, 1.4 juta warga Suriah –hampir setengah yang terdaftar di badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi– telah mencari perlindungan di Jordania, sebuah negara dengan tujuh juta penduduk.
Jordania tetap mempertahankan kebijakan membuka perbatasan, tetapi arus pengungsi menyebabkan negara yang mempunyai infrastuktur terbatas ini kewalahan dan dibanjiri oleh buruh. Kebanyakan dari pengungsi Suriah tinggal di kota-kota dan desa-desa, di mana sekitar 100.000 tinggal di dua kamp pusat pengungsian di wilayah utara negara itu.
Mereka yang tidak dapat membayar tagihan sewa, atau mereka yang tidak dapat memasuki kamp-kamp resmi karena pembatasan, berakhir dengan tinggal di pemukiman-pemukiman ilegal yang membentang di sepanjang Jordania selama tahun-tahun belakangan.
“Beberapa memiliki latar belakang nomaden di Suriah, tetapi kebanyakan hidup kekurangan karena mereka tidak sanggup membayar segala sesuatunya,” ujar Marcello Rossoni, yang memimpin misi bantuan lembaga swadaya masyarakat (NGO) asal Italia di wilayah baratlaut Jordania, pada Al Jazeera.
Pada 2014 terdapat 125 kamp pengungsian ilegal di Jordania, ditempati lebih dari 10.000 orang. Jumlah kamp pengungsian ilegal mengalami kenaikan tiga kali lipat hingga 400 pada akhir tahun, dengan tambahan pekerja yang diperkirakan berjumlah 20.000 pengungsi Suriah tinggal di kamp-kamp buatan sendiri.
Angka ini sepertinya akan bertambah dengan menanjaknya populasi pengungsi di Jordania dan memburuknya situasi finansial warga Suriah di negara itu, ujar lembaga bantuan melaporkan.
Pengungsi Suriah tidak diperbolehkan bekerja di Jordanian tanpa membayar biaya perizinan sebesar 700 Dinar Jordania ($985), dan meskipun majikan mereka yang harus membayar biaya itu, mereka tetap membebankan biaya itu pada para pengungsi.
Akibatnya, 99 persen dari pengungsi Suriah di Jordania menjadi pengangguran atau bekerja secara ilegal. Mengetahui tabungan mereka habis, banyak dari mereka berjuang keras untuk membayar tagihan yang meningkat secara drastis dari tingkat pra-krisis hingga 300 persen pada beberapa kasus.
Banyak dari kamp darurat di Jordania telah didirikan di wilayah pedesaan yang susah dijangkau, dimana para pengungsi tinggal dibawah ketakukan akan penggusuran oleh pihak pemeritah setempat.
“Saya datang ke sini dari Kamp Zaatari karena sepupu saya di sini,” kata Mahmud (32), yang melarikan diri dari sebuah desa dekat Hama dan berbicara dengan Al Jazeera menggunakan nama samaran.
“Tinggal di Zaatari sangat sengsara. Kamu tidak dapat bekerja, dan kamu tidak dapat melakukan apapun. Saya hampir putus asa,” kata Mahmud. Ia menambahkan bahwa dia meninggalkan kamp itu dengan izin sementara dan tidak akan pernah kembali. Terlepas dari kondisi yang buruk, dia mengatakan lebih baik tinggal di pemukiman ilegal, karena bisa menemukan pekerjaan dan dapat berkumpul dengan saudaranya.
Semua pemukim dianggap ilegal dalam Undang-Undang Jordania. Hasilnya, hanya segelintir lembaga bantuan yang memberikan bantuan secara terbatas pada orang-orang yang tinggal di kamp-kamp itu, meskipun kondisi mereka serba kekurangan.
“Tidaklah mudah menjadi seorang pengungsi di Jordania, dan bahkan lebih sulit bagi mereka yang tinggal di pemukiman ilegal,” ujar Muhammad Rafiq Khan, spesialis perlindungan anak yang bekerja pada UNICEF di Jordania, dilaporkan Al Jazeera.
“Sekitar 90 persen dari keluarga hidup dalam garis kemiskinan, dan seperempat dari anak-anak di [pemukiman ilegal] terlibat dalam beberapa bentuk pekerjaan.”
UNICEF memberi bantuan 91 pemukiman ilegal di negara itu, dengan menyediakan air, pelayanan kesehatan, dan kebersihan, beserta membuka kesempatan belajar bagi anak-anak yang tidak bersekolah sekali dalam seminggu, kata Khan.
Menurut sebuah laporan dari WFP dan Reach, anak-anak yang berada di kamp-kamp darurat tiga kali lipat lebih memungkinkan berhenti sekolah daripada mereka yang tinggal di kota-kota dan di dalam kamp pemukiman resmi.
“Alasan utamanya adalah karena jarak. Pemukiman ilegal berlokasi di wilayah terpencil. Keluarga-keluarga mereka terpaksa mengirim mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan dasar, termasuk makanan,” kata Khan.
“Ini dapat menjadi beban berat bagi seorang anak.” */Nashirul Haq AR