Hidayatullah.com– Agustusan tahun ini berbeda yang saya rasakan. Di saat semua orang berkonsentrasi untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Sebagian asyik dengan aneka perlombaan, para politisi dan akademisi sibuk membicarakan kemerdekaan dalam konteks kekinian dan dari banyak aspek.
Pun sepanjang jalan banyak bendera Merah Putih berkibar dan umbul-umbul berdiri. Panggung-panggung rakyat juga terpasang.
17 Agustus 2017, kami tidak bisa mengikuti semua kegiatan tersebut. Karena saya merayakan kemerdekaan di rumah sakit, menemani istri tercinta untuk membebaskan penyakit yang dideritanya; eklamsia.
Tidak pernah menduga dan membayangkan sebelumnya akan peristiwa ini.
Kejadiannya begitu cepat dan rekayasa Allah tentunya. Malam tanggal 16 Agustus saya masih rapat dengan kepala unit pendidikan di kompleks pesantren tempat tinggal saya di Teritip, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Baca: Kisah Tentang Bayi Ajaib
Rabu (16/08/2017) pagi, saya masih sempat ke kantor dan pergi ke Gunung Binjai untuk menghadiri acara peresmian Ma’had Tahfidz Ahlus Shuffah. Kemudian saya izin pulang duluan untuk menjemput anak di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lalu mengantar istri ke Puskesmas karena memang waktunya kontrol kehamilannya.
Hasil pemeriksaan di sini, Puskesmas merujuk istri ke rumah sakit, karena tensinya tinggi, 170.
Dengan roda dua jenis bebek kesayangan, saya dan istri meluncur ke kota, sekaligus berkonsultasi dengan dokter Rahmat yang selama ini menangani. Jarak dari Teritip ke pusat kota Balikpapan sekitar 30 kilometer.
Sebenarnya, perkiraan kelahiran bayi kami tanggal 9 September 2017. Tapi, setelah tiba di rumah sakit dan diperiksa, dokter Rahmat langsung bilang, “Besok operasi ya!”
Kalimat singkat yang membuat kami terpaku.
Saya langsung terbayang persiapan upacara bendera kemerdekaan besok. Rencananya besok saya akan menjadi inspektur upacara di pesantren. Sementara saat ini saya belum membawa persiapan baju, dan lain sebagainya. Anak-anak juga masih di rumah dengan mertua yang sedang sakit. Terpikirkan pula rencana-rencana lain besok dan bengkalai tugas-tugas.
Sempat saya bertanya, “Besok, kan, tanggal merah, Dok?”
“Tidak masalah” jawabnya singkat.
Ohh… Saya kira Dokter lupa atau seperti yang dulu, menunggu beberapa hari, baru operasi.
Melihat wajah saya mungkin kebingungan, dokter Rahmat berkata, “Insyaallah tidak masalah, istri saya tiga kehamilan semua eklamsia, kehamilan pertama… Bla..bla…bla….”
Saya hanya terdiam menyimak tapi sambil pikiran kemana-mana.
“Insyaallah, Dok!” jawab saya pelan.
Semua itu harus dikembalikan akan keimanan kepada Allah. Rencana Allah jauh lebih hebat dan pasti ada hikmah besar di balik ini semua.
“Merayakan” 17 Agustus di rumah sakit, terasa beda dan memang berbeda. Saya harus merdeka dulu dari urusan-urusan teknis selama ini, dengan sejenak merenung di rumah sakit. Bukan tugas-tugas itu semua tidak penting, tapi tanggung jawab sebagai suami yang tak mungkin diwakilkan orang lain.
Merenungkan kemerdekaan di rumah sakit; Para dokter berjuang untuk membebaskan pasien dari penyakitnya. Para pasien juga harus berjuang untuk membebaskan diri dari bergantung kepada dokter. Keluarga pasien juga berusaha memerdekakan nafsu demi senantiasa menemani, mendoakan orang dekatnya yang sedang sakit.
Baca: Kisah Madu Arab dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Alhamdulillah, atas izin Allah, akhirnya lahirlah putri kami, Kamis (17/08/2017). Sungguh tak disangka, di luar dugaan, anak keenam kami ini lahir di hari yang seluruh rakyat Indonesia merayakannya, yaitu Hari Peringatan Kemerdekaan RI.
Ruang Mawar 9 di RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo, Balikpapan, menjadi saksi atas “kemerdekaan” bagi generasi baru tersebut.
Meskipun prematur dan lewat operasi caesar, sang bayi telah merdeka dari segala “tekanan” di dalam rahim sang ibu. Semoga ia kelak menjadi anak shalehah dan bisa memerdekakan umat ini dari segala bentuk penjajahan di dunia ini. Aamiin!* Diceritakan kepada hidayatullah.com oleh Abdul Ghofar, aktivis pendidikan di Balikpapan