Hidayatullah.com–“Mencetak dokumen” demikian papan nama yang ditulis di luar lantai pertama sebuah rumah daerah pinggiran Santa Clara, Ibu Kota Kuba.
Hassan Jan (43), mengelola percetakan semi-permanen di ruang depan rumahnya – bagian dari bangunan yang dulunya vila, saat ini terbagi menjadi empat rumah kecil, dan dikelilingi oleh berblok-blok apartemen bergaya Soviet.
Di ruang depan itu, dipisahkan dari rumahnya hanya dengan sebuah tirai, terdapat sebuah sofa, dua kursi, sebuah aquarium berisi ikan emas dan printer berisik Hassan. Serta jendela yang berfungsi sedikit mengusir panas.
Bisnis mikro rumahan seperti itu telah menjadi hal yang umum sejak Kuba menerapkan UU Wirausaha pada 2008.
Ruang di sebuah rumah akan seringkali dipergunakan sebagai pusat perbaikan telepon, tempat cukur atau salon, apapun yang pemukiman butuhkan. Hassan memberi harga 1 peso Kuba ($.04) per halaman dan jarang mendapatkan lebih dari $1 dalam satu hari. Pemasukan itu cukup baginya untuk menopang kehidupan istrinya Shabana dan dua anaknya.
“Mereka merupakan sebuah komunitas muda … Muslim dari luar telah eksis dan masih menjadi faktor yang menentukan penciptaan dan perkembangan di masyarakat Kuba,” ujar Haji Isa, seorang mualaf Kuba sebagaimana dikutip laman Aljazeera.
Hassan, yang memiliki jenggot hitam dan bermata biru, menggenakan dishdasha, jubah putih panjang yang digenakan di banyak negara Muslim dan sebuah kopyah putih. Di samping jam dinding berornamen abad 19 yang terletak di atas komputer, tergantung sebuah foto Masjidil Haram, Masjid Suci di Kota Makkah.
Hassan dan Shabana merupakan sejumlah kecil tetapi sedang berkembang penduduk Kuba yang telah masuk Islam, atau, bagi mereka, “menerima Islam”.
Jumlah Muslim di Kuba diperkirakan hanya beberapa ribu, sebuah negara yang secara resmi sekular, tetapi memiliki jumlah penganut Katolik yang besar. Mayoritas Muslimnya merupakan pelajar asing atau pekerja. Haji Isa, sebelumnya bernama Jorge Elias Gil Viant, seorang seniman Kuba, dan mantan pustakawan Uni Arab-Kuba, organisasi budaya bermarkas di Havana, memperkirakan terdapat sekitar 1.000 Muslim Kuba, baik yang berpindah agama Islam dan keturunan imigran Muslim.
“Ini merupakan komunitas yang masih muda,” kata dia. “Muslim dari luar negeri telah dan masih merupakan faktor yang menentukan dalam penciptaan dan perkembangan masyarakat Kuba … Banyak pelajar dari Afrika, Sahara Barat, Yaman, Palestina dan negara Arab lain mempunyai pengaruh besar pada tahun 1990-an, kemudian nantinya banyak dari Pakistan.”
Hal itu, menurut Isa, menandakan bahwa komunitas-komunitas kecil Muslim di sepanjang pulau itu mempunyai karateristik yang berbeda, terbentuk oleh yang awalnya mempengaruhi mereka dan keadaan setempat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang masuk Islam, orang-orang menjadi lebih sadar bahwa Islam merupakan sebuah agama yang juga dianut oleh penduduk Kuba. Bisnis-bisnis kecil, seperti milik Hassan, membantu lebih banyak penduduk Kuba berhubungan dengan Muslim dan juga mendukung pertumbuhan komunitas tersebut.
“Ini menjadi lahan baru bagi Muslim dan telah membantu mereka secara ekonomi dan untuk bisa membantu saudara Muslim,” kata Isa.
Menemukan Islam
Perjalanan Hassan menuju Islam merupakan hal yang tidak terduga
Lahir dengan nama Froilan Reyes, dia tidak mempunyai kecenderungan agama ketika tumbuh.
“Saya dibesarkan dengan cara Kuba,” katanya. “Saya bahkan tidak pernah ke gereja.”
Sebagai sosok menyenangkan-penyuka pantai-senang berjalan kaki, dia kemudian bekerja sebagai seorang teknisi audio di Universitas Pengetahuan Medis di Santa Clara dan juga menjadi DJ tetap setiap malamnya.
Semua itu berubah pada tahun 2010 ketika bulan suci Muslim, Ramadhan, ketika dia diharuskan bekerja dengan sekelompok pelajar medis Pakistan yang menimba ilmu di universitas itu.
Pada tahun 2005, gempa bumi Kashmir menewarkan lebih dari 86.000 orang dan menyebabkan 2,5 juta orang kehilangan rumah.
Selama seminggu, Kuba mengirim lebih dari 2.000 dokter dan spesialis medis lain untuk membantu wilayah yang terkena dampak gempa bumi. Pada tahun selanjutnya, negara itu menawarkan 1.000 beasiswa bagi para pemuda-pemudi Pakistan.
Hampir 300 dari mereka ditempatkan di universitas di mana Hassan bekerja.
Mulanya, Hassan menghindari mereka.
“Orang-orang berbicara buruk tentang Muslim, memanggil mereka teroris, hal semacam itu,” katanya.
Kemudia dia ditugaskan untuk menjaga perlengkapan audio yang digunakan pelajar Muslim beribadah selama Ramadhan, dan bersama mereka dari 2 siang hingga 2 malam setiap harinya.
“Pada awalnya saya merasa tidak nyaman,” akunya. “Saya marah pada mereka karena saya takut. Mereka mengundangku berbuka puasa dengan mereka, tetapi saya menolak karena saya tidak ingin makan dengan mereka.” Dia tersenyum, menggelengkan kepala ketika mengingat hal itu.
“Saya ingat hari ketiga. Mereka semua sholat dan saya mengatakan pada diri saya, ‘Apa yang aku lakukan di sini?’ Saya benar-benar berada di luar zona nyamanku. Dan sampai suatu hari saya setuju makan dengan mereka dan mulai berbicara dengan mereka. Saya melihat mereka telah berkorban banyak untuk melanjutkan keyakinan mereka di Kuba,” katanya.
“Saya bertanya pada diri saya sendiri, ‘Jadi, jika mereka sejahat itu, mengapa mereka begitu baik padaku?’ Dan jadi saya mulai berbicara banyak dengan mereka dan menyadari Islam merupakan sesuatu yang berbeda dari yang dibicarakan orang-orang Kuba.”
Ketika Ramadhan berakhir, dia kembali ke pekerjaan lamanya, tetapi tetap menemui para pelajar itu dan mulai membaca al-Quran serta mendiskusikannya dengan mereka.
Tujuh bulan kemudian, dia masuk Islam dan mengganti namanya.
“Allah menunjukkan padaku melalui cara mereka berperilaku bahwa Islam merupakan sesuatu yang lain: Islam itu damai, itu merupakan kehendak Tuhan. Allah memberiku kesempatan untuk memahaminya. Itu merupakan karunia bagiku,” katanya sambil tersenyum lebar.
Keputusan Hassan untuk menjadi mualaf awalnya memunculkan masalah dengan keluarga besarnya.
“Keluargaku pada awalnya tidak setuju. Karena, seperti yang saya katakan, Islam mempunyai reputasi buruk. Itu yang semua orang ketahui. Dan itu sulit. Masih ada anggota keluargaku yang tidak menerima bahwa aku telah menerima Islam.”
Istrinya juga pada awalnya ragu.
“Saya tidak ingin masuk Islam karena apa yang orang-orang katakan – bahwa mereka menyiksa wanita. Tetapi saya banyak membaca, saya membaca buku-buku sehingga saya dapat lebih mengerti,” kata istrinya. Dia masuk Islam lima bulan setelah suaminya dan mengganti namanya menjadi Shabana.
“Awalnya saya tidak menggenakan hijab karena orang-orang, karena saya takut dengan apa yang orang akan katakan. Tetapi setelah setahun, hatiku terbuka dan sekarang saya menggenakannya dan bahkan di rumah saya lupa kalau saya masih menggenakannya.”
Anak mereka, Aina,16, dan Ismael,12, juga menggenakan hijab dan gamis.
“Menggenakan hijab cukup sulit bagi anak perempuanku di usianya,” kata Shabana. “Dia berumur 16 dan berat baginya berada di sekolah. Saya hanya berharap dia menemukan teman laki-laki, seorang lelaki Muslim dan dapat membantunya. Kita akan lihat. Insya Allah.”*/Nashirul Haq AR (bersambung)