ADA pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup Masita Fadirubum. Pada 2012, Ustad Rasto, suaminya, mendapat tugas dakwah di Boven Digoel, Provinsi Papua. Tugas utama Rasto adalah mendirikan Cabang Hidayatullah di daerah tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan dulu.
Karena akan menetap di Digoel, Rasto membawa seluruh keluarganya: 3 anak dan 1 istri. Kebetulan saat itu istrinya lagi mengandung 3 bulan. Jarak yang ditempuh bukan main jauhnya, 400 kilometer!
Tidak ada bis, juga tak ada angkot. Tapi seperti pepatah: tak ada rotan, akarpun jadi. Adanya truk, maka Rasto dan keluarganya pun menumpang truk.
Masih enak bila jalannya mulus. Ini tidak. Jalannya licin penuh lumpur, berkelok-kelok dan naik turun tajam. Tak pelak lagi, selama perjalanan mereka seperti dibanting-banting. Akibatnya fatal. Begitu turun, kandungan Masita rontok alias kekuguran. Itulah harga mahal yang mesti dibayar pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 45 tahun lalu ini di awal tugasnya di Diegul.
Demi cita-cita mulia, Rasto tak patah arang. Tiba di daerah yang penduduknya tak lebih dari 60 ribu (2009) itu Rasto segera mencari rumah kontrakan. Alhamdulillah, dapat di kampung Sokaggo.
Dalam perjalanannya, rumah itu multi fungsi. Menjadi rumah tingggal, mushola, kantor, asrama dan tempat mengaji anak-anak sekitar. Keadaan seperti itu berlangsung hingga sekarang.
Karena kegiatan dakwah mulai bergulir, Rasto mendapat kiriman tenaga santri senior dari Hidayatullah Merauke, M Ibrahim dan Hendra Irianto. Lalu disusul Abdul Rasyid dan Hamid dari Jayapura.
Mereka itulah yang terus bergerak. Mengajar ngaji, menggalang dukungan dan tak lupa mencari lahan untuk pesantren. “Sa’i” mereka tidak percuma. Kesungguhan mereka memperjuangkan agama Allah, membuat Allah senang. Munajat mereka yang tak pernah berhenti di sepertiga malam, didengar Allah Subhanahu Wata’ala.
Sang Pemilik Kehidupan pun menurunkan bantun-Nya lewat Aniansyah dan HM Nasir Satar. Yang satu mewakafkan tanahnya seluas 25 x 25 M yang terletak di Jalan Trans Papua. Tempat ini kemudian dijadikan sebagai kantor sekretariat. Sedangkan Nasir Satar mewaqafkan tanahnya seluas 50 x 350 M yang terletak di pinggiran kota. Rencananya lahan yang terakhir ini akan digunakan sebagai kampus Pesantren Hidayatullah. Amin….
Mengapa pesantren? “Sebab, di Digoel belum ada pesantren, harus ada yang menjaga aqidah orang-orang Muslim di sini,” kata Rasto, sarjana pendidikan Islam ini.
Lahan sudah ada. Tapi banyak yang belum tersedia. Semen, bata, pasir, genteng, besi dan sebagainya. Semuanya belum ada. Dan sepertinya, Rasto tak bakal mampu membangun pesantren sendirinya. Disamping sumber dayanya amat terbatas, tak mudah membangun pesantren di daerah mayoritas Kristen. Maka uluran tangan kita semua, tentu bakal meringankan beban Rasto, berapapun.*
Rubrik ini bekerjasama dengan www.posdai.com, Call Center : 081-135-452-86, Donasi untuk para dai; 7333-0333-07 An : Pos Dai Hidayatullah [Mandiri Syariah], 0060-0075-1565-7 An: Pos Dai Hidayatullah [Mandiri], 5530-4124-25 An: Yay. Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta [BCA] atau KLIK di sini