Hidayatullah.com | PRIA berkulit gelap itu geram, pasalnya masjid yang masih dalam tahap pembangunan sudah diancam akan dirobohkan oleh sekelompok oknum yang tak menginginkan tempat ibadah itu berdiri. Padahal Jufri Baco (47 tahun), nama pria itu, bersama beberapa rekannya telah memeras keringat mencari simpatisan dan dukungan banyak pihak agar masjid tersebut bisa segera difungsikan. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggagalkan rencana tersebut. Bahkan Jufri, sapaan akrabnya, diancam akan dibunuh jika terus melanjutkan pembangunan masjid tersebut.
Beberapa bulan mangkrak karena terus menerus dihalangi, tak membuat ciut nyali Jufri. Masjid yang berlokasi di Jalan Timika – Pomako, Mwapi, Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Papua itu akhirnya bisa berdiri di daerah mayoritas Kristen itu.
“Banyak hal yang harus kami lakukan, dari pendekatan humanisme, bayar denda, hingga harus balas mengancam mereka,” pungkas pria yang mengaku mantan pimpinan preman itu.
Hal serupa kembali lagi terjadi ketika Jufri kembali diamanahi merintis dakwah di daerah pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika, Papua. Membangun masjid kembali dihalang-halangi sekelompok oknum. Lelaki kelahiran Ambon tahun 1972 itu tak peduli dengan ancaman mereka yang ujung-ujungnya hanyalah minta uang, “Tidak ada masalah dengan perijinan, tanahnya pun tak bersengketa,” katanya.
“Saya tak peduli ancaman mereka. Mereka yang datang menggangu, saya kejar. Mereka lari terbirit-birit,” ujarnya terkekeh.
Antar-Jemput Santri
Begitulah salah satu perjuangan dakwah Jufri di bumi Cendrawasih. Setelah masjid dibangun, pekerjaan rumah berikutnya adalah memakmurkan masjid tersebut. Ia kemudian mencoba mengumpulkan anak-anak untuk mengaji. Kendalanya, di lokasi tersebut mayoritas Kristen, sedangkan yang Islam letak rumahnya berjauh-jauhan. Munculah inisiatif antar-jemput santri agar bisa belajar mengaji denganya.
Setiap hari, Jufri, sapaan akrabnya, harus menjemput dan mengantar pulang anak-anak yang belajar mengaji dengannya. Walaupun tak dibayar sepersen pun, ia mengaku bahagia melakukan aktivitasnya menghidupkan masjid dan sebagai cikal-bakal berdirinya pesantren.
Untuk lebih menghemat waktu, biasanya sekali jemput ia langsung membonceng tiga sampai empat orang anak. Ada lebih dari 50 santri yang belajar ngaji dengannya. Tak jarang ban motornya kempes hingga mogok di tengah jalan, “Maklum motor tua,” katanya.
“Orangtua mereka sangat senang anak-anaknya bisa belajar mengaji. Sebelumnya mereka kurang memperhatikan ilmu agama anak-anaknya. Sekarang mereka senang dengan adanya antar-pulang mengaji. Gratis pula,” tutur Jefri.
Awalnya hanya beberapa orangtua yang setuju anak mereka ikut belajar mengaji. Alasannya, jalan menuju masjid sangat rawan oleh preman yang suka memalak orang lewat.
“Namun setelah melihat anak-anak yang semakin baik ilmu agamanya, banyak orangtua yang ingin anaknya ikut mengaji. Selain itu, para preman takut sama saya,” terangnya tertawa.
Mantan Preman
Perkenalan Jufri dalam dunia dakwah dimulai saat ia mengenal Pesantren Hidayatullah ketika menikah dengan seorang gadis bernama Nurminah di Sorowako, Sulawesi Selatan. Sebelumnya ia adalah pimpinan sebuah geng preman di Papua.
“Hampir semua kemaksiatan pernah saya lakukan. Contohnya, saya memerintahkan anak buah untuk memalak orang di pasar. Jika ada yang melawan, biasanya saya turun tangan berkelahi dengan mereka yang tak mau memberi barang atau uangnya,” ujarnya mengenang masa lalu.
Titik balik Jufri adalah ketika terjadi kerusuhan di Ambon. Ia ikut menjadi laskar dalam konflik tersebut. Melihat perjuangan beberapa laskar yang membela agamanya, tersentuh hatinya dan memutuskan berhijrah. Kemudian ia berkenalan dengan beberapa dai Hidayatullah.
“Saya melihat perjuangan dakwah Hidayatullah yang begitu gigih, membuat saya memutuskan untuk bergabung. Kemudian saya ke Hidayatullah Sorowako dan dinikahkan dengan salah satu santriwati Hidayatullah di sana,” terangnhya.
Beberapa saat setelah bergabung di Hidayatullah, Jufri ditugaskan ke Cabang Hidayatullah Timika, Papua. Di sanalah ia belajar banyak hal, dari hidup berjamaah sampai berdakwah.
“Saat itu saya betul-betul nol soal agama, apa lagi baca Qur’an.Tiba-tiba saya ditugaskan untuk mengajar ngaji. Coba bayangkan saja, saya yang masih belajar alif ba ta ketika itu disuruh mengajar ngaji. Untunglah saya memilik istri yang selalu membantu menyemangati. Ia juga yang mengajari saya membaca al-Qur’an,” pungkasnya.
Dia belajar sangat giat kepada istrinya. Apa yang diajarkan oleh istrinya itulah yang ia ajarkan kepada santri-santrinya.
Berbagai tantangan dan rintangan dakwah selalu saja ada di bumi Cendrawasih, namun ayah dari tujuh anak itu tak pernah gentar dan terus berjuang dengan cara apa pun, meskipun harus mengantar-jemput mad’u (obyek dakwah)-nya.
Ia juga mengaku, sebagai mantan preman ada juga untungnya. Beberapa oknum yang mau menganggu dakwahnya sedikit takut. Kini beberapa anak buah premannya dulu sudah mengikuti jejaknya untuk hijrah. Bahkan beberapa di antara mereka yang sudah sukses menjadi donatur tetap membantu perjuangan dakwah Jufri.
“Dakwah ini tak akan pernah berhenti sampai kapan pun. Sebesar apapun tantangan yang kami hadapi, selama kita masih percaya bahwa Allah Subhanahu Wata ala di Sorowako, di Timika, sama dengan Allah di Pomako, Insha Allah semuanya akan berjalan lancar. Dakwah ini akan terus berlanjut,” ujar pria yang hobi membaca itu.
Jufri memang mengaku bukan siapa-siapa. Apalagi ilmu yang dia miliki sangat terbatas. Dengan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang akan menurunkan bantuan, kedepan, ia ingin dakwah terus berkembang, khususnya di Bumi Cendrawasih.
Menurutnya, Papua tak hanya butuh satu musholla atau masjid. Tapi wilayah ini masih merlukan masjid lebih banyak lagi. Termasuk tenaga da’i agar dakwah Islam terus berkembang dan meluas.
“Masyarakat di sini sangat membutuhkan pembinaan Islam yang lebih mendalam,” ungkapnya,*/Sirajudin Muslim, dikutip dari Suara Hidayatullah