Hidayatullah.com– Apa yang terlintas di benak Anda jika mendengar kata Baduy? Baduy yang kami maksud adalah sebuah komunitas masyarakat Sunda yang tinggal di kawasan Pegunungan Keundeng. Tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat yang menjadi cagar budaya Propinsi Banten ini menempati lahan seluas 5.102 hektar.
Mengapa cagar budaya? Sebab, masyarakat ini dianggap masih memegang kuat nilai-nilai adat lokal, serta menjaga kelestarian alam. Jangan heran, jika di kawasan Baduy ada larangan untuk menggunakan sabun mandi. Sebab, itu akan mengotori air sungai yang menjadi sumber utama kehidupan mereka.
Dalam masyarakat Baduy dikenal istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Yang disebut Baduy Dalam adalah komunitas masyarakat yang menetap di tiga kampung: Kampung Cibeo, Kampung Cikartawana, dan Kampung Cikeusik. Di tiga kampung itulah, adat itu masih dipegang kuat yang masing-masing di bawah pimpinan kepala adat yang disebut puun. Sementara Baduy Luar, ialah kampung-kampung lain di kawasan tanah ulayat Baduy yang telah menerima modernisasi, salah satunya mengenai pakaian yang boleh dijahit.
Sayangnya, baik Baduy Dalam maupun Baguy Luar, masih jauh dari Islam. Mereka mempunyai keyakinan yang disebut Sunda Wiwitan, ajaran kepercayaan yang melakukan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur. Meski demikian, bukan berarti dakwah Islam tidak pernah sampai ke sana.
Adalah Nurkib Ibnu Djais, pria kelahiran Lebak, 4 Juni 1966 ini salah satu dai yang membawa dakwah ke tengah masyarakat Baduy.
Hampir 20 tahun, pria berkumis ini, terus membina masyarakat Baduy. Atas izin Allah, sekitar 70 kepala keluarga telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulillah.
Pertengahan November lalu, majalah Suara Hidayatullah berkesempatan mengikuti perjalanan Nurkib Ibnu Djais masuk ke Kampung Cikeusik, Baduy Dalam. Melalui pintu masuk Baduy di Desa Cijahe, Kecamatan Cirinteun, menuju Cikeusik harus berjalan kaki selama 30 menit.
“Masuk daerah Baduy tidak diperkenankan menggunakan kendaraan,” jelas Nurkib saat melintasi sungai Ciujung yang menjadi pintu masuk ke kawasan Baduy.
Nurkib sangat akrab dengan masyarakat Baduy. Dengan menggunakan bahasa Sunda, beberapa kali ia menyapa masyarakat Baduy yang ada di huma (sawah kering) atau ladang. Di tengah ladang, Nurkib mengajak kami mampir ke sebuah rumah yang biasa dipakai istirahat masyarakat Baduy saat di ladang. Di depan rumah yang terbuat dari kayu pohon durian dan anyaman bambu itu terdapat pancuran air yang sangat jernih.
“Punten bade numpang shalat Dhuha (permisi mau numpang shalat Dhuha-red),” ujar Nurkib. Ayah Kanah, nama orang Baduy tersebut, mengizinkan Nurkib shalat di dalam rumahnya. Usai shalat, Nurkib berbincang-bincang sambil menikmati mie instan.
Menurut Nurkib, dakwah di kawasan Baduy tidak bisa langsung menjelaskan tentang Islam. Caranya seperti yang tadi Nurkib lakukan. “Dengan numpang shalat tadi, sebenarnya saya ingin menunjukan cara ibadah orang Islam. Saya kalau menginap di rumah orang Baduy, ibadah saja seperti biasa,” ujar Nurkib. Harapannya, akan muncul rasa ingin tahu tentang Islam. Begitu pun saat berbincang-bincang dengan orang-orang Baduy, beberapa kali tersirat ia menjelaskan tentang ajaran Islam.
“Insya Allah, jika hidayah datang, dengan sendirinya mereka akan masuk Islam,” jelas putra pertama dari pasangan Djais dan Ira ini.
Sekarang, yang intensif Nurkib lakukan adalah dakwah di kalangan masyarakat Baduy yang sudah keluar dari kawasan Baduy. Mereka ditempatkan oleh pemerintah di Kampung Sukatani, Kampung Cipangembar, Kampung Margaluyu, dan Kampung Kopo Dua. Kampung-kampung tersebut terhitung dekat dengan rumah Nurkib yang berada di Kampung Sukatani, Kecamatan Leuwidamar, Lebak. Paling jauh ke Kampung Kopo Dua, yang menempuh waktu 4 jam dengan sepeda motor.
Berdakwah di tengah masyarakat Baduy membutuhkan energy yang luar biasa. Bagaimana tidak di tempat ini juga dijadikan “perebutan” lahan dakwah berbagai agama. Menurut penuturan Nurkib, usaha gereja juga sangat kuat. Mereka bahkan diperhatikan dari segi ekonomi dan pendidikan. Anak-anak Baduy ada yang dibawa ke Bandung, Cilegon, dan Jakarta. Salah satunya ada yang sudah dididik menjadi pastur dan bidan. Kini mereka sudah terjun kembali ke tengah masyarakatnya.
Atas usaha dakwah ini alhamdulillah, sekitar 90 persen mereka yang ada di pemukiman sudah memeluk Islam. Selebihnya masih ada yang meyakini Sunda Wiwitan, ada juga yang memeluk Kristen sekitar 7 KK. Mereka ini meskipun sedikit, tapi kualitasnya cukup baik.
Suka duka perjalanan dakwah Nurkib di tengah masyarakat Baduy bisa dibaca lengkap 7 halaman di arsip Majalah Suara Hidayatullah Desember 2011.*
————————-
Dukung dakwah para dai pedalaman melalui rekening donasi Bank Syariah Mandiri 7333-0333-07 a/n:Pos Dai Hidayatullah, BNI, no rek: 0254-5369-72 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta, Bank Muamalat no rek: 0002-5176-07 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com