Hidayatullah.com – Siang itu sinar matahari cukup menyengat. Muhammad Tang menyusuri Sungai Mahakam untuk memenuhi undangan pengajian di Desa Muara Pantuan. Bagi pria ramah ini, sebenarnya tugas dakwah ke Muara Pantuanbukanlah hal baru.
“Saat belum ada DPC (Hidayatullah), secara rutin saya ke Muara Pantuan. Kadang menggunakan perahu klotok (sarana transportasi sungai Mahakam) selama 1,5 jam,” cerita ayah tiga anak ini.
Sungai Mahakam adalah ikon Bumi Etam, Kalimantan Timur, dengan ibukota provinsinya Samarinda. Kota Tepian Samarinda sendiri memiliki penduduk lebih kurang 600.000 jiwa, dengan luas wilayah 718 Km2.
Hingga kini, Muhammad Tang secara istiqamah melakukan pembinaan iman bagi penduduk yang tinggal di bantaran Sungai Mahakam dan pedalaman. la telah mampu membangun sarana dakwah di bilangan Sempaja. Meskipun demikian, pria ramah kelahiran Bone (Sulsel) tahun 1964 ini selalu mengaku “belum berhasil” dalam berdakwah.
Membina Penjara
Geliat dakwah Muhammad Tang terus mengalir bagaikan riak air Sungai Mahakam yang mengaliri kota dan desa. Berbagai lapisan komunitas ummat dijangkaunya. Mulai dari kalangan intelektual perkotaan di kampus-kampus perguruan tinggi, karyawan perusahaan di sekitar Samarinda dan Kutai Kertanegara, sampai masyarakat kalangan bawah. Namun cukup berkesan adalah touring (penjelajahan) dakwah di Rutan Sempaja, Samarinda.
Di balik tembok penjara yang tak bersahabat itu, Muhammad Tang menuntun dengan tekun para napi untuk belajar huruf demi huruf hingga akhirnya bisa melafadzkan ayat-ayat suci dalam Al-Qur’an “Saya terpanggil untuk mengajari mereka dengan metode Grand MBA (Gerakan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an) yang dicetuskan Hidayatullah,” kata lelaki yang pernah mengajar di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan ini mantap.
Berkat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui sentuhan sang ustadz, beberapa narapidana (napi) yang tadinya buta huruf Al-Qur’an kini sudah melek (terbuka matanya). Ada beberapa “alumni” sebelum habis masa tahanannya menyampaikan terima kasih, karena justru di dalam penjaralah mereka bisa membaca Al-Qur’an. Perlu kesabaran ekstra untuk menuntun para napi belajar Al-Quran. Rata-rata usianya sudah paruh baya. Latar belakangnya pun kebanyakan dari dunia hitam. Namun tetap saja ada yang mengagumkan bagi Muhammad Tang.
Ada seorang napi yang sudah lanjut usia, berkali-kali dituntun dan diajari tapi sampai saat ini belum juga bisa membaca. “Saya sedih sekaligus kagum. Sedih karena sudah sekian lama diajari namun belum kunjung paham. Namun demikian saya kagum dengan usahanya yang tak kunjung jemu,” katanya.
Menurut M Riza Aliyafi, Staf Pembinaan Mental Keagamaan Rutan, untuk angkatan pertama ada 30-an napi yang mengikuti pembelajaran Al-Qur’an. Sebelum dimulai angkatan kedua, secara rutin pihak rutan melaksanakan pembelajaran Al-Qur’an kepada 130-an napi yang langsung diasuh oleh petugas rutan sendiri. Para napi tampak antusias mengikuti program tersebut.
“Kami menjalin kerjasama dengan Hidayatulah Samarinda untuk pembinaan spiritual para narapidana. Setiap Jum’at, khatibnya dari Hidayatullah,” imbuh Aliyafi.
Sekolah Unggulan
Selain geliat dakwah yang tak pernah surut, Muhammad Tang juga menyimpan obsesi mulia. Yaitu menghadirkan pendidikan Islam yang berkualitas di Samarinda.
Menurutnya, Samarinda adalah salah satu kota pelajar di Indonesia. Di wilayah Kaltim, Samarinda adalah kiblat bagi pelajar yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Selain ada Universitas Mulawarman, juga ada beberapa perguruan tinggi swasta di Kota Tepian.
Obsesi itu pula yang mendorong Muhammad Tang menempuh pendidikan S-2 Jurusan Manajemen Pendidikan di IAIN Antasari Banjarmasin. la ingin Hidayatullah Samarinda segera memiliki sekolah unggulan, mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
Di kampus Pesantren Hidayatullah Samarinda yang luasnya 3,5 hektar, kini berdiri masjid dua lantai yang pembangunannya menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 milyar. Selain bantuan dari Pemerintah Kota senilai Rp 1,7 milyar melalui Walikota H. Achmad Amins (yang juga merupakan Pembina Hidayatullah Samarinda), juga ada kucuran dana dari Pemerintah Provinsi. Sisanya merupakan swadaya yang dihimpun dari kalangan pengusaha, pejabat, dan masyarakat yang terpanggil memberikan konstribusi.
Sebelum pembangunan infrastruktur pendidikan rampung, maka masjid akan menjadi pusat pendidikan sekaligus pusat kajian keislaman. “Kami memprogramkan nantinya akan ada kajian intensif di masjid ini untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Kampus Hidayatullah yang bersebelahan dengan kampus Universitas Mulawarman dan beberapa perguruan tinggi swasta, sangat strategis untuk melakukan gerakan pembinaan keislaman,” Muhammad Tang optimis.
Tanggalkan Seragam PNS
Perjalanan dakwah Muhammad Tang dimulai ketika dirinya menjadi guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Desa Tanjung Jumlai, Kabupaten Pasir (sekarang Penajam Paser Utara). Saat itu ia mengikuti sebuah pengajian yang diasuh oleh Ustadz Amin Bachrun (almarhum), dai dari Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Materi kajian rupanya mengusik jiwa mudanya.
“Apa yang saat itu saya dapatkan selama tiga hari mengikuti kajian Sistematika Nuzulnya Wahyu, sangat berbeda dengan yang saya dapatkan selama tiga tahun di Pendidikan Guru Agama (PGA),” kenang Muhammad Tang.
Sejak saat itu, semangatnya untuk segera bergabung ke Pesantren Hidayatullah Balikpapan menggebu-gebu. Namun Ustadz Amin Bahrun justru memintanya agar tetap melakoni tugas sebagai guru di Tanjung Jumlai. Karena semangatnya tak tertahankan, Muhammad Tang secara rutin setiap malam Jum’at menyeberangi teluk Balikpapan untuk mengikuti kajian di Pesantren Hidayatullah yang saat itu mash berlokasi di Karang Bugis, Balikpapan.
Rute Samarinda-Balikpapan itu dijalaninya selama 4 tahun.
Akhirnya Muhammad Tang membulatkan tekad untuk mengabdi di pesantren. Status PNS pun ditanggalkan, agar bisa menjadi da’i dan mengajar di pesantren yang kebanyakan dihuni anak-anak yatim piatu dan terlantar.
Pimpinan Pesantren
Penghujung tahun 2000 atau tiga belas tahun kemudian, Muhammad Tang menggenggam Surat Keputusan sebagai pimpinan Hidayatullah Samarinda. Berangkat dari sebuah niat untuk menjalankan amanah, pria ramah ini menuju ibukota Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Samarinda, ia sedikit terhenyak. la mengaku mengalami banyak benturan kultural terkait perbedaan organisasi.
Muhammad Tang mencoba menyiasati kondisi tersebut dengan memperbanyak silaturrahim dan menjalin komunikasi dengan semua pihak. Alhasil simpatisan Pesantren Hidayatullah berasal dari berbagai latar belakang. Sekat-sekat perbedaan pun bisa diminimalkan.
Muhammad Tang menikah dengan Jawiyah RW dalam prosesi pernikahan massal 47 pasang tahun 1991 di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Suami-istri ini telah dikaruniai tiga orang putra-putri, yaitu Nurul Mahabbah Fajrina, Muhammad Ubaidillah Said, dan Muhammad Nur Ashshiddiq. Semoga Allah SWT melimpahkan semangat jihad kepada mereka, sebagaimana yang dilimpahkan kepada kedua orangtuanya.
Melalui program literasi 1.000 majalah untuk guru ngaji dan da’i, kita semua dapat mendukung para da’i dan guru ngaji dengan memperkuat literasi mereka. Dukungan Anda akan menjadi bagian penting dalam perjalanan panjang membangun masa depan dakwah yang lebih cerah di seluruh pelosok negeri.
Mari ambil bagian dalam program literasi ini dan bantu hadirkan 1.000 majalah untuk para da’i dan guru ngaji di seluruh penjuru Nusantara.
Dukung gerakan Journalism4Ummah untuk mengangkat suara umat, memperkuat literasi da’i dan guru ngaji, dan mengawal isu keumatan dengan konten yang bermakna, berdampak, dan relevan.
info lengkap: https://bit.ly/3ZQR3ia
Baca juga: Jalan Panjang Dai Tempaan Alam