Hidayatullah.com | SALAMINAR baru saja selesai mengajar siang itu. Dia keletihan setelah mengajar full sejak pagi. Rasa ingin istirahat, tidur siang tentu menguasai pikirannya.
Namun dia teringat, bahwa ini hari Selasa. Seperti biasa, tidak ada waktu istirahat siang di hari Selasa. Masih ada amanah lain yang sedang menunggu dan harus ditunaikan, yaitu mengajar Al-Qur’an di Lapas Kelas Tiga Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.
Di hari Selasa siang, seperti biasa para tahanan wanita di Lapas itu bersiap-siap belajar tahsin bacaan Al-Qur’an bersama Ustadzah Minar, sapaan akrab Muslimah lajang tersebut.
Lapas Kelas III Lhoknga terletak agak jauh dari pusat ibu kota Aceh, Banda Aceh. Sekitar satu jam ke arah barat daya. Tidak jauh dari Lapas itu berdiri Pondok Pesantren Hidayatullah cabang Aceh. Jarak lokasinya dari Lapas hanya lima belas menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Kedekatan Hidayatullah dengan pengurus Lapas Lhoknga sudah terjalin cukup lama. Saat ini, dalam bentuk kerja sama pelayanan pembinaan spritual dan wawasan keagamaan para tahanan, khususnya tahanan wanita.
Salaminar pada awalnya sekadar ikut-ikutan dengan ibu-ibu pengajian Muslimat Hidayatullah (Mushida).
Rasa keingintahuan sekaligus ingin cari pengalaman membuatnya mantap untuk turut bertisipasi dalam kegiatan itu, meskipun harus mengorbankan waktu istirahatnya di siang hari.
Kini kegiatan mengajar di Lapas justru menjadi rutinitasnya di setiap hari Selasa.
“Awal cuma ikut ikut para ustadzah dari rombongan Mushida, kemudian dapat instruksi dari penanggung jawab kegiatan untuk mengajar rutin setiap hari Selasa,” tuturnya tersenyum.
Materi yang diajarkan kepada para tahanan adalah seputar tahsin bacaan Al-Qur’an dan terjemah bacaan shalat.
Bagi Minar, panggilannya, materi yang diajarkan tidak terlalu berat, sebab guru lajang ini sudah hafal 30 juz Al-Qur’an, serta dirinya pernah mengenyam pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS) Balikpapan.
Baginya yang berat adalah selalu istiqamah agar tidak terputus. Hal ini selalu dia upayakan. Sehingga, jika terkadang tidak ada yang bisa mengantar, dia terpaksa berjalan kaki sendiri ke Lapas selama lima belas menit.
Antusias para tahahan wanita untuk mengikuti kegiatan tahsin nyaris tak pernah kendur, meskipun di antara mereka ada yang sudah lanjut usia.
“Yang paling muda 20 tahun, dan ada juga yang sudah sepuh, berusia 80 tahun,” tuturnya terharu.
“Terkadang sebagian petugas wanita di dalam penjara ikut nimbrung bertanya masalah masalah agama. Bahkan ada juga tahanan laki-laki yang nekat mendekat untuk bertanya masalah agama,” lanjutnya tersipu.
Salaminar menyadari bahwa ilmu yang dimiliki masih sedikit. Dia merasa masih sangat perlu untuk belajar agama lebih dalam lagi.
Rasa keterpanggilan untuk menjalankan amanah mengajar para napi tidak mungkin ditampiknya. Baginya memberikan yang sedikit lebih baik daripada tidak memberi sama sekali.
“Terus terang, saya justru termotivasi dengan semangat ibu-ibu tahanan belajar di penjara. Mereka bahkan minta tambahan satu hari lagi untuk ngajar di penjara,” tuturnya.
Rutinitas harian akhwat kelahiran tahun 1996 ini terbilang padat dan berat. Di samping mengajar di MTs dan MA Al Ikhlas Hidayatullah Aceh, sehari-harinya dia harus menjalankan amanah kepengasuhan untuk santriwati pesantren, dan harus menetap di asrama selama 24 jam.
Hampir setiap malam bakda magrib, diapun harus menerima setoran hafalan para santriwati program tahfizh di pondok itu.
Di masa pandemi Covid-19 hingga April ini bahkan waktu tak menentu, Salaminar terpaksa pulang untuk berdiam diri di kampung halamannya di kawasan Aceh Tengah, Desa Serule, Kecamatan Bintang.
Perjalanan dari Pesantren Hidayatullah ke kampung halaman ditempuh selama 12 jam. Cukup melelahkan.
Meski terpaksa off dulu, masih tersimpan harapan teramat besar di dalam hati sang kader dakwah ini untuk kembali membersamai para santri dan napi tersebut.
“Semangat mereka belajar di tengah keterbatasan membuat saya termotivasi untuk lebih semangat lagi membersamai mereka dalam belajar ilmu agama,” tuturnya.* (Lukman, Dosen STIS Hidayatullah)