Hidayatullah.com—Pemerintah Islandia sedang menggodok rencana larangan pornografi baik cetak maupun online guna melindungi anak-anak dari pemandangan tidak pantas, sebuah rencana yang ditentang sejumlah pihak.
Dilansir Associated Press (25/2/2013), usulan larangan pornografi oleh Menteri Dalam Negeri Ogmundur Jonasson itu telah menimbulkan kegemparan. Para penentang berpendapat larangan itu berarti tindakan penyensoran atas internet, mendukung rezim otoriter dan melecehkan reputasi Islandia sebagai benteng kebebasan berbicara di Skandinavia.
Sedangkan para pendukung larangan pornografi menilainya sebagai tindakan masuk akal untuk melindungi anak-anak dari bahayanya.
“Ketika seorang anak berusia 12 tahun mengetikkan kata ‘porno’ di Google, dia tidak akan mendapatkan foto wanita telanjang di padang rumput, melainkan kekerasan seksual yang sangat brutal,” kata Halla Gunnarsdottir penasehat politik menteri dalam negeri.
“Di dalam masyarakat kita ada peraturan. Mengapa hal itu tidak juga diterapkan di internet?” ujarnya dengan nada tanya.
Gunnarsdottir mengatakan, rancangan peraturan baru yang sedang digodok oleh sebuah tim pakar itu tidak akan memasukkan larangan baru, tetapi mempertegas larangan yang sudah ada dalam undang-undang.
Pornografi di Islandia sudah dilarang sejak puluhan tahun lalu, tetapi definisinya belum ditetapkan dan oleh karena itu peraturannya tidak kunjung dilaksanakan. Sehingga majalah seperti Playboy dan Penthouse bebas dijual di toko-toko buku, sementara majalah yang menampilkan perilaku seks keras bisa didapat di toko-toko penjual perangkat seks. Sementara saluran televisi dewasa ditawarkan lewat paket tv digital.
Pemerintah Islandia menegaskan larangan itu akan mendefinisikan pornografi sebagai material dengan konten yang mengandung kekerasan atau menurunkan martabat, bukan untuk menyapu bersih majalah-majalah syur atau menyensor seks.
Gunnarsdottir mengatakan, komite yang sedang menggodok rencana itu sedang mempelajari secara mendalam bagaimana larangan itu nantinya akan diterapkan. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah menjadikan ilegal transaksi kartu kredit untuk pembayaran konten porno, atau yang lebih kontroversial dilakukan filter dan blokir alamat situs yang mengandung pornografi.
Ide tersebut yang kemudian membuat sebagian pihak pengguna dan aktivis internet berang dan menganggapnya sebagai pembatasan kebebasan berinternet.
“Menurut saya kita seharusnya bisa mendiskusikan internet secara lebih mendalam, tanpa hanya meneriakkan tentang sensor di satu sisi atau kebebasan di sisi lainnya,” kata wanita itu.
“Apakah kebebasan berbicara namanya di mana anak-anak bisa menjangkau materi-materi seks yang sangat terang-terangan dan brutal. Kebebasan berbicara seperti itukah yang kita lindungi?” tegas Gunnarsdottir.
Sejumlah negara sebenarnya telah menerapkan sensor pornografi di internet. Di China, Iran dan Korea Utara dilakukan blokir secara nasional. Cara mereka tidak akan ditiru oleh Islandia.
Sementara negara-negara Eropa seperti Inggris, Swedia dan Denmark meminta penyedia layanan internet memblokir situs pornografi anak.*