Hidayatullah.com–Keluarga inti merupakan sebuah lembaga kecil. Dari keluargalah segala norma, etiket, nilai-nilai, dan kepribadian seseorang terbentuk. Namun, ketika sebuah keluarga tidak lagi harmonis, hal-hal dan nilai baik sukar untuk diajarkan kepada anak-anak.
Untuk itu, sebelum keluarga (sebagai tempat berbagi afeksi), nilai, dan sistem itu mulai rusak, usahakan untuk membentuk kembali kegiatan-kegiatan yang menyenangkan bersama. Salah satunya adalah dengan makan bersama. Ini merupakan kegiatan yang dulu merupakan budaya, namun terkikis oleh zaman dan dalih kesibukan, macet, banyak kerjaan, bahkan malas.
Data yang disajikan oleh Dr. Erna Karim M.Si, pengajar di Program Sarjana Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, 5 tahun belakangan angka perceraian umat Islam di kota–kota besar di Indonesia meningkat 3 kali lipat (hampir mencapai 300 persen). Yang terbesar terjadi di Surabaya (cerai talak sebanyak 17.728 perkara, cerai gugat 27.805 perkara), kedua di Bandung (cerai talak 13.415, cerai gugat 15.139); Semarang (cerai talak 12.694 perkara, cerai gugat 23.653 perkara); ketiga di Jakarta; dan keempat di Makasar. Data tahun 2005 –2006 ini berasal dari Dirjen Bimas Islam Dep. Agama RI.
Penyebab angka-angka perceraian di atas adalah ketidakharmonisan suami-istri, suami tidak bertanggungjawab, ekonomi, cemburu, kekerasan/penganiayaan, dan poligami. Hal ini sebenarnya bisa dicegah jika saja si orangtua dalam keluarga mendapat contoh bagaimana menjadi orangtua dari orangtua mereka sendiri. Karena ketika keluarga tidak harmonis, hal ini cenderung berulang kepada anak-anaknya.
Salah satu cara untuk menjembatani ketidakharmonisan keluarga adalah dengan makan bersama. Dr. Erna Karim, M.Si, pada peluncuran kampanye Royco Ayo Makan Bersama! mengatakan, “Kebiasaan makan bersama merupakan tradisi yang ada sejak dulu di masyarakat Indonesia. Namun, karena ada kendala struktural, seperti jam aktivitas keluarga yang tak sama, kepadatan lalu lintas, pengaruh teknologi, dan lainnya, membawa implikasi kepada pergeseran nilai-nilai dan norma makan bersama.”
“Padahal, makan bersama memiliki 3 fungsi, yakni mengenalkan variasi makanan pada anak, membentuk pola asuh anak, dan mengikat kebersamaan suatu keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil,’ terang Dr. Erna.
Dr. Rose Mini, M.Psi, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengutip hasil penelitian Teri L Burgess-Champoux, School of Public Health di University of Minnesota, yang melibatkan 677 remaja, tahun 1998 -2004, makan bersama secara rutin selama masa peralihan, dari awal sampai pertengahan masa remaja, secara positif berdampak pada perkembangan perilaku sehat bagi pemuda. Begitu menurut hasil penelitian tersebut.
Menurut Dr. Rose Mini, “Makan bersama bukan sekadar mengenyangkan perut saja, tapi juga mengenyangkan jiwa (soul food), memunculkan emosi positif bagi keluarga karena ada interaksi antaranggota keluarga sehingga dapat menciptakan hubungan yang erat dan harmonis. Namun, yang perlu diingat, pada saat makan bersama, hendaknya anggota keluarga saling menyimak dan menunjukkan empati kepada lawan bicara, dan bukan sekadar basa-basi, serta mendengarkan sambil lalu, agar tercipta sebuah dialog positif.”
Pada tahun 2008, Unilever mengadakan penelitian terhadap 6.000 responden di 12 negara untuk mengetahui budaya makan bersama keluarga. Di Indonesia, penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan 500 responden dengan rentang usia 18-65 tahun, dengan jumlah responden imbang laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan budaya makan bersama keluarga yang disebabkan oleh gaya hidup modern.
Bagaimana cara mengembalikan budaya makan bersama ini? Tentu kembali lagi dengan komitmen dan komunikasi di antara keluarga. Harus ada yang memulai untuk melakukan kegiatan ini. Setidaknya peran orangtua, misal ibu yang senantiasa mencipta suasana makan yang kondusif bersama keluarga.
Lengkapi dengan hidangan lezat bergizi dan disukai anggota keluarga. Harus ada komitmen dari setiap anggota keluarga untuk sampai di rumah lebih awal dan meluangkan waktu agar dapat makan bersama beberapa kali tiap minggu, mengurangi bepergian dan makan di luar rumah, mengurangi aktivitas di depan televisi, komputer, video game, telepon genggam, dan alat komunikasi lain. Ini penting, agar mendapatkan interaksi tatap muka dan interaksi yang akrab. Keluarga yang makan bersama, lebih besar kemungkinannya untuk selalu terus bersama. [kcm/hidayatullah.com]