STUDI “Mapping the Global Muslim Population”, yang dilakukan Pew Forum on Religion & Public Life, baru-baru ini menyebutkan, ada sekitar 1,57 miliar orang Muslim di dunia. Jumlah itu merupakan 23 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 6,8 miliar).
Hanya saja, jika boleh jujur, jumlah sebesar itu masih sebatas kuantitas, belum kualitas. Sebab faktanya, di banyak negara, kaum Muslimin masih menjadi bulan-bulanan “penjajahan” negara-negara Barat. Termasuk dalam “penjajahan ekonomi”.
Apa yang harus kita lakukan? Secara jujur, kita semua masih berada dalam kondisi yang serba lemah; lemah fisik, lemah mental, lemah jiwa serta raga. Kelemahan ini kemudian diperparah dengan lemahnya pula di sektor iman, semangat juang, patriotisme, dan jihad fii sabilillah. Ibarat pertahanan tubuh yang sudah rapuh, semakin hari semakin banyak pula penyakit yang melekat. Sehingga kerapuhan itu semakin bertambah-tambah saja.
Kita akui secara jujur, inilah buah dari kelengahan kita kemarin yang lebih banyak mengurus kepentingan diri pribadi dan golongan. Kita telah memupuk benih egoisme yang terkemas dalam simbol-simbol kebebasan, demokrasi dan kebebasan kreasi. Kedua kepentingan ini senantiasa menempati urutan terdepan dalam setiap langkah kehidupan yang kita ayun. Keduanya kita selalu kedepankan, jauh lebih ke depan dari kepentingan bersama untuk bangkitnya agama kita. Kita lupa bahwa persatuan, ukhuwwah Islamiyah, maupun ikatan jamaah antar kaum Mulimin sebenarnya jauh lebih dari segalanya.
Ikatan ukhuwwah itu bukan saja akan membentuk temali agama yang kokoh, akan tetapi menjadi benteng penangkal mudahnya pasukan musuh menyusup kedalam tubuh kaum muslimin. Mereka menjadi segan oleh karena pamor yang dimiliki oleh kaum muslimin ini dengan meningkatan kebersamaan dalam bentuk ukhuwwah Islamiyah.
Kita hanya sering “bertemu untuk berbeda”, bukan “bersatu untuk menutupi perbedaan”. Inilah yang menjadi bagian dari kerapuhan kita semua.
Contoh paling gampang melihat kerapuhan itu ketika rezim Orde Baru rontok dan berkibarnya era reformasi. Saat itu, muncul beramai-ramai ormas dan partai saling unjuk gigi untuk tampil paling depan. Ummat menjadi rebutan kepentingan atas nama partai dan simbol-simbol itu. Tak urung, ummat menjadi bingung, barisan manakah yang hendak ia masuki? Semuanya bagus dan atas nama Islam. Hanya sebaiknya di sini ummat memperhitungkan, manakah di antara semuanya itu yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan Islam untuk ummat, bukan sekedar trend dan jago-jagoan.
Apalagi kita saksikan yang terjadi pada hari-hari ini adalah kekurang-kompakan di antara ummat Islam sendiri. Antara kaum muslimin dibatasi oleh jurang pemisah kepentingannya sendiri-sendiri. Ada masalah kesungkanan atau kesulitan berkomunikasi, saling bergunjing, curiga, pojok-memojokkan, saling rendah-merendahkan. Kalau kita daftar nama-nama mereka yang menempati posisi pucuk pimpinan di banyak lembaga, betapa tidak sedikit jumlah kaum muslimin. Tapi mengapa pertentangan diantara sesama itu semakin ramai saja, termasuk yang ada di lembaga keagamaan.
Jurang-jurang itulah yang membuat musuh Islam dengan enaknya masuk memperkeruh suasana dan mendikte ummat Islam. Para pembenci agama dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maupun dari kalangan mereka yang berlindung diri di balik ajaran kejawen dan nasionalis tidak bosan-bosannya mencari titik lemah. Titik itu dijadikan sarana untuk mewujudkan kepentingan mereka. Kita diadu, seperti kejadian yang sungguh sangat menyakitkan yang kita rasakan di tahun 70-an dan dan 80-an tempo hari. Orang jelas-jelas akan berdakwah (muballigh) dilarang, dengan alasan yang cenderung dicari-cari dan aneh-aneh. Pakai jilbab di kalangan remaja puteri kita dan kaum wanita muslimah selalu dicari-cari salahnya, selalu serba salah, juga dengan alasan yang aneh-aneh. Mereka khawatir masyarakat rusak karena terhasut ajaran (tabligh) sang juru dakwah (da’i) atau ikut-ikutan memakai busana yang diimpor dari Tanah Arab! Mereka takut dengan ketakutan yang tidak beralasan seperti itu. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dengan pelarangannya itu sebenarnya telah melakukan perusakan secara terang-terangan. Kemaksiatan semakin merajalela, kejahatan dan kehancuran moral menjalar di mana-mana.Mereka menukar dengana racun.
Jangan salah memilih teman
Yang lebih tragis adalah sikap kita yang mudah menyerah dan gemar mengambil kawan dari kelompok lain untuk dijadikan teman, baik dalam urusan berpikir maupun dalam mengambil kebijakan. Inilah bentuk lain pelanggaran yang sangat besar yang mengundang kesengsaraan. Allah swt berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan sahabat karib orang-orang selain golonganmu, mereka itu tidak mau menolong kamu selain dari kecelakaan, mereka itu senang kalau kamu susah (ditimpa krisis); sungguh telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersembunyi dalam hati mereka lebih besar. Sungguh kami telah menerangkan kepadamu ayat-ayat kami kalau kamu mau berfikir. Kamu ini adalah orang-orang yang kasih sayang kepada mereka, tetapi mereka tidak mau kasih sayang kepadamu.” (QS. Ali Imran: 118-119)
Tidak ada kamusnya dalam sejarah, perjuangan untuk kemenangan suatu kaum dibantu oleh para musuh-musuhnya. Kemenangan tidak akan diperoleh, melainkan dengan jerihpayah dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Bukan hadiah dari musuh. Sebab kalaupun musuh memberikan bantuan dan pertolongan, itu bukan berarti mereka terlepas hati dari segala kepentingan dan maksud-maksud tertentu dibelakangnya. Mereka selalu menyembunyikan udang dibalik gundukan batu.
Untuk bisa keluar dari krisis kita tidak mungkin hanya mengandalkan IMF tanpa melibatkan potensi besar dalam negeri. Negeri ini masih sangat kaya, hanya saja kekayaan itu diselewengkan dan diakui milik sekelompok orang.
Potensi rakyat dan kondisi kekayaan alam negeri kita masih terlalu besar yang belum termanfaatkan dengan baik. Jadi bukan kekayaan dan kemampuan yang tidak ada, tapi percaya diri. Kita ibarat orang hebat yang linglung mau mengerjakan apa.
Kita lebih percaya kepada dukun daripada mengerahkan segala kemampuan. Kita sering mengeluhkan tentang minimnya kemampuan SDM yang kita miliki. Ratapan diperpanjang seolah kita, orang Indonesia, manusia dengan tingkatan kelas kesekian. Sebagai negera berpenduduk muslim dengan jumlah terbesar di dunia, statemen seperti ini sebaiknya segera digulung, dan disingkirkan dari arena percaturan komunikasi yang hanya melemahkan mental generasi muda muslim. Tanpa menutup kelemahan dan keterbatasan, kita harus membangun mental ‘mampu’berbuat, mampu bertindak dan mampu berkarya diatas kaki sendiri. Jadi yang kita perlu bangun adalah moral dan mental yang tangguh. Bukan terus menerus meratapi keterbatasan kemampuan itu.
Kita semua kecele, ternyata di sisi moral bangsa kita jauh lebih ambruk. Sumber Daya Moral (SDM) terpuruk jauh dibawah bangsa-bangsa yang selama ini kita kecam sebagai bangsa yang tidak bermoral. Kolusi, korupsi dan nepotisme sudah sangat akut. Di atas catatan, kita membungkus anak-anak bangsa dengan ajaran-ajaran moral, tapi pada kenyataannya generasi yang dilahirkan adalah ulat-ulat dan binatang nifaq(baca:benih-benih kemunafikan). Adakah penyakit yang lebih membahayakan bagi kepentingan banyak orang dengan tingkat bahaya yang lebih besar dari generasi-generasi munafik ini?
Akibat rendahnya moral dan mentalitas ini, kita mudah dikerjai oleh orang lain. Kita mampu, tapi tidak bisa berdiri dengan tegak. Mental mengandalkan kemampuan orang lain adalah mental budak yang dapat mengakibatkan malapetaka tambahan yang lebih besar.
Berpegang Teguh
Bila kaum muslimin ingin kembali mulia, hidup terhormat, disegani baik oleh kawan maupun lawan, maka tidak ada pilihan lain selain harus secara jujur, tulus dan ikhlah memilih undang-undang Allah sebagai undang undang pilihan. Undang-undang itulah yang mestinya menjadi alternatif untuk menghadapi seluruh segi dan persoalan yang muncul di panggung kehidupan ini.Dengan undang-undang itu kita tidak menjadi galau ketika ditimpa malapetaka.Pribadi kita sebagai suatu bangsa jelas dan kuat.
Malapetaka yang sedang menimpa kita ini adalah jeweran Allah swt terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan tempo hari. Kita bilang negara Indonesia negara makmur, pada kenyataannya tidak sedikit anak-anak negeri yang sedang meregang nyawa menahan lapar, rakyat yang terjepit, dan pungli (pungutan liar) yang menjerat. Berbagai keperluan dari beras, bahan dasar cat, seng hingga jarum masih impor. Sementara sebagai anak bangsa kita harus bangga ketika dihadapan mata disajikan sebuah pesawat kebanggaan milik anak bangsa mengudara! Kita harus tersenyum sekalipun perut sedang dalam keadaan lapar!
Jadi, wahai kaum muslimin, dimanapun anda berada dan apapun jabatan dan posisi anda sekarang. Janganlah ulangi kembali kesalahan yang telah lalu. Bila jelas-jelas rakyat menderita itu telah anda saksikan di depan mata, bahkan ada diantara mereka yang telah meregang nyawa, menanti lonceng kematian, janganlah karena kedekatan anda dengan kekuasaan/penguasa membuat mata menjadi buta.
Kepada para ulama, kembalikanlah posisi anda sebagai warasatul anbiya. Peganglah dengan teguh identitas yang mulia itu; bahwa keberadaanmu di tengah masyarakat adalah untuk membina ummat, u ntuk menegakkan undang-undang yang haq, mewujudkan terciptanya daulah kekuasaan (hukum Allah) dimuka bumi ini. Kehadiran anda bukan untuk kepentingan segelintir penguasa, dan melegitimasi segala kepentingannya. Tidak. Tapi untuk ummat, ummat dan ummat.* aql