Lahir dari keluarga seorang ulama, Latifa al-Droubi setia menemani suami bahkah telah berpindah tempat 49 kali selama 14 tahun—dari gua hingga kandang ayam—menghindari kejaran Rezim Bashar al Assad
Hidayatullah.com | DALAM dunia politik Timur Tengah yang sering kali dikuasai oleh retorika dan kekuasaan maskulin, sosok Latifa al‑Droubi hadir seperti angin segar. Ibu Negara baru Suriah ini bukan hanya pendamping Presiden interim Ahmad al‑Sharaa, tetapi juga simbol keteguhan dan kesetiaan dalam perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan rekonsiliasi bangsa.
Baru muncul ke publik sejak awal tahun ini, Latifa langsung mencuri perhatian. Dengan penampilan sederhana namun berwibawa, ia hadir dalam berbagai acara kenegaraan dan forum internasional, mencitrakan wajah Suriah yang lebih bersahaja dan inklusif.
Sosok Latifa al‑Droubi tidak dibentuk oleh sorotan kamera atau protokol istana, melainkan oleh penderitaan bersama rakyat. Ia bukan figur glamor, melainkan narasi sunyi dari ketabahan dan keberanian perempuan.
Dalam perjalanan Suriah menuju rekonsiliasi dan perdamaian, nama Latifa tampaknya akan terus disebut—bukan karena kekuasaan, tapi karena kasih dan kesetiaan yang ia bawa dalam tiap langkahnya
14 Tahun dalam Senyap dan Penderitaan
Latifa lahir tahun 1984 di kota Al-Qaryatayn, Provinsi Homs. Ia berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang, keturunan ulama besar Syeikh Abdul Ghaffar al‑Droubi dan kerabat Aladdin al‑Droubi, perdana menteri Suriah era 1920-an.
Kecintaannya pada sastra membawanya menempuh Magister Sastra Arab di Universitas Damaskus, tempat di mana ia bertemu Ahmad al‑Sharaa—saat itu aktivis mahasiswa dan penulis muda oposisi.
Keduanya menikah di awal 2010-an, dan sejak itulah kisah mereka menjadi satu dalam pergolakan sejarah Suriah modern.
Ketika konflik sipil pecah, Ahmad Al-Sharaa menjadi buronan rezim Bashar al-Assad dan Latifa memilih untuk tidak meninggalkannya. Bersama-sama mereka hidup dalam pelarian, berpindah tempat sebanyak 49 kali selama 14 tahun—dari gua di pegunungan, rumah petani, hingga kandang ayam.
“Istriku hidup bersamaku di gua selama 14 tahun. Kami berpindah di 49 tempat—rata-rata satu rumah setiap tiga bulan. Ketabahannya mewakili peran vital perempuan dalam perjuangan, ” ujar Presiden Al-Sharra dalam wawancara dengan Al Jazeera Arabic, Februari 2025.
Muncul di Panggung Diplomatik
Setelah Ahmad al‑Sharaa dilantik sebagai Presiden interim pada 29 Januari 2025, Latifa mulai tampil di hadapan publik. Dalam hitungan minggu, ia mendampingi suaminya umrah di Makkah, bertemu Emine Erdoğan di Ankara, lalu menghadiri Antalya Diplomacy Forum (11 April), hingga ikut menyapa rakyat dalam perayaan Idul Adha di Tishreen Park, Damaskus.

Kehadirannya disambut hangat. The New Arab menyebutnya “humble yet intellectually commanding.”
Penampilannya yang bersahaja—kerudung lembut, abaya elegan, senyum tulus—menjadi representasi perempuan Suriah pascaperang: kuat, berpendidikan, dan tidak kehilangan nurani sosial.
Menyentuh Rakyat
Dalam pidato pertamanya di hadapan warga pada Idul Fitri (31 Maret 2024), Latifa menyampaikan kalimat yang banyak dikutip media:
“Saya bukan Ibu Negara dari istana. Saya adalah istri dari lelaki biasa yang pernah tidur di tanah dan makan roti kering bersama kalian.”
Sementara di acara Idul Adha (7 Juni 2025), ia menegaskan visinya tentang rakyat dan negara:
“Negara bukan istana. Negara adalah kalian: janda, yatim, guru yang tetap mengajar meski tak digaji. Kalianlah Suriah. Kami hanya diberi amanah untuk melayani,” katanya dikutip Al‑Monitor.
Bukan di Belakang, tapi di Samping
Ahmad al‑Sharaa menyebut Latifa sebagai “jiwa perlawanan yang tenang.” Dalam wawancara dengan IntelliNews, ia berkata: “Tanpa dia, aku takkan selamat dari perang—secara politik maupun emosional. Ia bukan di belakangku. Ia berjalan di sampingku.”Dan tampaknya, rakyat Suriah kini juga melihatnya seperti itu—bukan sekadar Ibu Negara, melainkan penjaga nurani bangsanya.*