MARAH, bisa datang kapan saja kepada siapa saja. Tidak terkecuali pada seorang istri. Namun, untuk menjadi suami bestari sebagaimana diteladankan Nabi memang butuh keteguhan hati. Terlebih kala kemarahan istri terasa mengejikan diri. Tentu, seorang suami butuh pegangan untuk menegarkan hati.
Tetapi, hal ini sekali lagi tidak mudah. Sebagian suami langsung tegak dan melampiaskan kekesalan dengan penuh emosi. Situasi seperti ini, sontak membuat sang istri kaget dan semakin dibakar api kebengisan. Meskipun secara teori hampir setiap suami memahami bahwa api hanya bisa padam dengan air, namun tetap berhati dingin dalam situasi seperti itu jelas butuh kekuatan hati.
Menariknya, ajaran Islam tidak pernah memberikan suatu perintah melainkan telah tersedia keteladanan dari hamba-hamba Allah yang berakhlakul karimah. Termasuk bagaimana semestinya seorang suami merespon kemarahan sang istri.
Suatu waktu, seorang lelaki tergesa-gesa menuju kediaman Sayyidina Umar radhiyallahu anhu dengan maksud hendak mengadukan perilaku istrinya yang dirasa sering sekali marah. Begitu tiba di kediaman Sayyidina Umar, lelaki itu tanpa sengaja mendengar suara istri Umar bin Khaththab sedang meleja khalifah kedua itu. Lelaki itu semakin bingung, karena Sayyidina Umar sama sekali tidak membela diri.
Menyaksikan hal tersebut, lelaki itu pun balik kanan dan melangkahkan kaki untuk pulang sembari bergumam, “Kalau Khalifah saja dimarahi oleh istrinya dan tidak bereaksi apa-apa, untuk apa saya mengadu kepada beliau?” sembari terus melangkahkan kakinya.
Tak disangka, ternyata Sayyidina Umar menyadari kehadiran sang tamu. Beliau pun segera membuka pintu dan tatkala melihat sang tamu telah beranjak, buru-buru beliau memanggil, ”Apa keperluanmu?”
Lelaki itu pun berbalik dan segera menghadap Sayyidina Umar. ”Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya aku datang untuk mengadukan perilaku istriku dan sikapnya kepadaku, tapi aku mendengar hal yang sama pada istri tuan.”
”Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawab Umar.
”Di samping itu,” sambung Umar, ”Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”
”Wahai Amirul Mu’minin, istriku juga demikian,” ujar orang laki-laki itu.
”Oleh karena itu, sabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar!”
Dari kisah penuh hikmah tersebut, para suami setidaknya harus mengutamakan beberapa sikap, kala mendapati istri sedang marah.
Pertama, sabar
Sabar ini memang amalan sangat utama, sampai-sampai Allah menegaskan bahwa pahala sabar itu tidak terbatas (QS. 39: 10). Kemudian, Allah juga memerintahkan umat Islam agar senantiasa memohon pertolongan kepada Allah kemudian bersabar (QS. 7: 128). Dalam ayat lainnya, Allah memerintahkan kita agar memohon pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan sholat (QS. 2: 153).
Sabar menghadapi istri yang marah adalah dengan tidak membalasnya dengan apapun, baik berupa ucapan atau pun tindakan. Seperti yang diteladankan Sayyidina Umar, beliau mengamalkan kesabaran dengan sempurna, yakni menahan diri untuk tidak terjebak emosi. Beliau memilih diam, mendengarkan dengan tabah dan terus berusaha mengingat-ingat kebaikan sang istri.
Kedua, adil
Sayyidina Umar radhiyallahu anhu sebagai seorang suami tidak sekadar pandai menuntut haknya, melainkan juga mengerti dengan baik apa hak dari seorang istri. Bahkan, beliau selalu mengingat jasa-jasa istrinya, sehingga beliau merasa penting untuk juga menghargai dan menghormati sang istri, termasuk disaat sedang marah.
Keadilan Sayyidina Umar radhiyallahu anhu dalam hal ini adalah memberikan hak istri untuk didengar, meski aspirasi itu mewujud dalam bentuk kemarahan.
Dan, sebagaimana orang yang ketika haknya diperhatikan bahkan diberikan secara penuh dan utuh, kelegaan hati pun akan segera menyelimuti dirinya. Itulah kenapa, beliau berkata pada lelaki yang mendatanginya, “Sabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar.”
Sungguh, mendengarkan kemarahan istri bukan sebuah kelemahan. Justru itulah kekuatan sejati seorang suami. Sebab, dengan seperti itu, keutuhan rumah tangga tetap terjaga, cinta kasih tetap terawat dan tentu saja kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah perlahan-lahan dapat diwujudkan.
Selain itu, sikap tersebut akan mencegah terjadinya perang mulut, adu argumentasi atau pun debat yang merugikan, yang jika tidak hati-hati justru terdengar anak-anak dan akan berdampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak-anak kita sendiri.
Islam memerintahkan umatnya berlaku kepada semua mahluk. Apalagi istri dan keluarga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu .” (QS: An-Nisa’: 135)
Ketiga, memaafkan
Seorang suami harus memiliki hati yang luas, sehingga tidak mudah tersinggung, sakit hati apalaagi sampai terbawa emosi berbalik memarahi istri.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan, Islam telah memberikan anjuran untuk saling memaafkan. Jadi, terhadap kesalahan istri, termasuk kemarahannya, berlapang dadalah untuk memaafkan. Utamakanlah hal-hal penting, besar dan urgen dalam keluarga.
Abaikan hal-hal yang hanya menimbulkan perdebatan dan kemarahan. Perbanyaklah mengingat kebaikan, jasa-jasa dan kasih sayang yang telah istri berikan. Dan, Ingatlah selalu, bahwa Allah Maha Pemaaf.
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“..Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [(QS Ali ‘Imran [3] ; 159)]
Dengan tiga hal ini, insya Allah para suami akan bisa menjadi pemimpin yang bijak, adil dan penyayang dalam mengarahkan bahtera rumah tangganya, sehingga terbentuklah keluarga berkualitas, yang bisa diandalkan untuk lahirnya generasi-generasi Islam unggul masa depan.*