SATU di antara analisa yang mengemuka mengapa Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi bisa menarik banyak pengikut adalah motif ekonomi.”
Naluriahnya, tidak banyak manusia yang mau memilih hidup dalam kekurangan harta. Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk memiliki etos ‘jihad’. Tidak semata dalam konteks peperangan, tetapi juga ekonomi.
Seorang Abdurrahman bin Auf pun tidak serta-merta menerima pemberian harta dari saudara seimannya yang hidup lebih dari kecukupan. Beliau justru meminta ditunjukkan dimana pasar.
Tentu, Abdurrahman bin Auf bersungguh-sungguh membangun kemandirian finansialnya dengan berjibaku di pasar hingga mampu menguasainya.
Nabi Daud misalnya, menjalani profesi sebagai pengrajin. Nabi Yusuf juga menjalani profesi sebagai bendahara negara. Bahkan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, sebelum diangkat menjadi nabi oleh Allah, bekerja sebagai penggembala dan pedagang.
Sejak kecil, demi menjaga izzahnya dari meminta-minta, beliau tidak mau menjadi sosok yang hidup dari belaskasihan orang. Sejak belia, beliau menggembala kambing, ikut menjadi pembantu pamannya dalam berdagang, hingga kemudian menjadi soerang pedagang profesional dalam menjalankan bisnis bersama Khadijah.
Dengan kata lain, tidak ada kekayaan yang bisa diraih tanpa etos jihad dalam merengkuhnya. Keringat, darah, bahkan mungkin nyawa menjadi taruhannya. Jika ada kekayaan yang dapat diraih dengan jalan pintas, maka hampir pasti cara itu menyimpang dari ketentuan syariah.
Di sinilah kesempurnaan Islam, dalam hal mencari rezeki pun harus dilandasi iman dan akhlakul karimah.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan, akhlaq merupakan modal yang terpenting dalam bekerja, “Tidaklah pantas bagi pedagang hanya memfokuskan pandanganya terhadap dunia saja, dengan melupakan akhirat. Jika yang terjadi demikian, maka umurnya akan sia-sia. Sebaiknya bagi yang berakal dianjurkan untuk memelihara dirinya dengan cara menjaga modalnya. Dan modal manusia di dalam kehidupan ini adalah agama dan bisnis (perdagangan) yang ada padanya”. Sebagaimana firman Allah swt. “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia” (QS. Al–Qashas[28]: 77).
Hanya koruptor dan penipu yang mau meninggalkan akhlak dan iman dalam mencari kekayaan, yang karena itu mereka bisa mengumpulkan kekayaan tanpa usaha dan pengorbanan. Oleh karena itu, mentalitas bekerja keras harus menjadi cara berpikir umat Islam.
Jauh sebelum peristiwa penggandaan uang di Probolinggo ini, beberapa tahun silam juga marak kasus penipuan melalui investasi, yang ternyata bodong. Ada Koperasi Langit Biru, dan beragam investasi lainnya yang kini, mereka yang telah tertipu amat menyesali pilihan yang diambilnya di masa lalu.
Dengan kata lain, bangunlah etos jihad dalam membangun kekuatan finansial diri dan keluarga.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqih Jihad menjelaskan bahwa bekerja mencari rezeki di muka bumi karena mengharap karunia Allah, jika ia bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua renta atau untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain dan cukup dengan kehalallannya, berarti ia sedang berada di jalan Allah. Makna di jalan Allah (fi sabilillah) adalah jihad.
Lebih jauh, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa jihad ekonomi adalah bagian dari jihad madani. Oleh karena itu etos untuk melahirkan inovasi amat ditekankan di dalam Islam.
Yusuf Qardhawi menuliskan ilustrasi penting bagi umat ini untuk tidak lalai, malas dan jauh dari inovasi. “Merasa puas dengan pertanian tanpa industri, adalah pilihan yang menjerumuskan umat ke dalam bahaya. Dituturkan dari Umar secara marfu’, “Apabila kalian telah berjual beli dengan sistem inah (sistem rekayasa dari memakan riba), larut dalam pertanian, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Seperti yang kita alami sekarang, sumber daya alam melimpah, namun karena tidak diikuti dengan semangat membangun industrinya, produksi cokelat pun harus ke luar negeri. Padahal, tanaman kakaonya ada di Indonesia, dan rakyat harus membeli dengan harga yang tidak kecil.
Dengan demikian medan jihad di bidang ekonomi masih sangat terbuka luas. Dan, bagi setiap Muslim, hendaklah menjaga izzahnya dengan mental jihad dalam bekerja. Jangan berpikir instan, sehingga menggadaikan iman.
Sebab, andai pun pekerjaan hari ini belum memberikan kekayaan yang diharapkan, pahami dan yakinilah, dengan bekerja itu kita sudah berada di dalam kebenaran.
“Siapa yang bekerja menghidupi dirinya sendiri agar terhormat (tidak meminta-minta) maka dia di jalan Allah, dan siapa yang bekerja untuk memperbanyak harta maka dia di jalan setan.” (HR. Baihaqi).
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Apabila keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk anaknya yang masih kecil, itu juga termasuk jihad fi sabilillah. Jika keluarnya dalam rangka mencari nafkah untuk orangtuanya yang tua, maka itu juga jihad fi sabilillah. Kalau pun keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk diri sendiri demi menjaga harga diri, maka itu juga termasuk jihad fi sabilillah. Tetapi, bila keluarnya dia disertai riya dan hura-hura, maka itu merupakan usaha di jalan setan.” (HR Thabrani).
Berharap kaya tanpa usaha dan mempercayai segala macam perihal yang di luar nalar sehat mausia, menipu dan korupsi, sama dengan telah merelakan diri mati sebelum ajal tiba. Sungguh sangat keterlaluan. Padahal, Islam tidak memerintahkan yang demikian.
Rasulullah bersabda, “Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka lebih baik daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik itu memberinya atau tidak.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).*