ALVIUS, 32 tahun, mengalami kesulitan yang tak biasa. Kala itu di tahun 2013, putra bungsunya (12 tahun) harus dioperasi karena sakit usus buntu. Operasi itu mengharuskan Alvius membawa anaknya menyeberang sungai dan laut menuju Tarakan, sebuah kota besar di utara Kalimantan.
Kenyataan itu, selain membuat Alvius terguncang jiwanya, pikirannya juga mengalami tekanan luar biasa. Terutama kala harus mengingat betapa besar biaya yang harus ia siapkan.
Selain biaya operasi, juga biaya transpor dari rumahnya di Desa Pungit, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan ke pelabuhan dengan jarak tempuh 150 km. Itu belum biaya menyeberang dengan kapal ke Tarakan.
Kondisi itu benar-benar gawat darurat baginya, apalagi Alvius hidup dengan “keistimewaan.”
Alvius merupakan anak ke-6 dari 10 bersaudara. Kakinya lumpuh. Kehidupannya ia topang dengan berkebun.
Singkat cerita, dalam kondisi demikian, demi sang anak, ia tetap berusaha berangkat ke Tarakan. Tibalah Alvius dan anaknya di kota ini untuk selanjutnya menjalani operasi.
Tak Dapat Bantuan
Operasi anaknya berjalan lancar. Tetapi, keguncangan batinnya malah bertambah. Sebab, usai operasi, pihak medis tetap menganjurkan untuk rawat inap. Guna memudahkan pengontrolan. Rawat ini pun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Per harinya butuh dana Rp 200 ribu.
Belum selesai masa kontrol, dana yang ia miliki habis tak tersisa sepeser pun. Beragam hal ia pikirkan. Sampai kemudian secepat kilat ia bergegas meninggalkan rumah sakit dan mencari tukang ojek untuk diantar ke gereja besar di Tarakan. Tentu dengan satu harapan besar, pihak gereja dapat membantu.
Setibanya di gereja dan menjumpai pastor, Alvius langsung menceritakan perihal diri dan anaknya. Namun pihak gereja, tutur Alvius, tak dapat membantu dengan berbagai alasan.
Alvius pun keluar dengan dada bergetar, rasa sedih dan marah menyatu di dalam hatinya. Usahanya belum berhasil.
Tahu-tahu sesuatu terjadi. Ternyata tukang ojek menunggunya di luar gereja. Begitu melihat Alvius tampak murung karena masalah yang dihadapinya, tukang ojek menyarankannya untuk datang ke lembaga sosial Islam. Tak banyak pikir, Alvius mengikuti saran tersebut.
Mungkin hatinya sudah ragu atau bahkan tidak percaya, bagaimana mungkin yang berbeda agama mau membantunya. Namun, Alvius tetap melangkah. Dan, ternyata, di luar dugaannya, lembaga tersebut membantu dengan nilai dana di luar perkiraannya.
Seketika itu juga Alvius berterimakasih kepada Tuhan yang dipercayainya saat itu. Namun di hati kecilnya mengatakan, “Ini tidak adil, Muslim yang membantu saya, kok malah bersyukur ke Tuhan Yesus,” ungkapnya membatin.
Melalui perantara bantuan tersebut, Alvius bersama anaknya pun bisa keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumahnya di Sekatak.
Akhirnya Bersyahadat
Sejak saat itu, tidak sekali dua kali umat Muslim membantu kebutuhan hidupnya. Ketika menerima bantuan tersebut, nuraninya selalu berucap, “Beginikah Islam memperlakukan umatnya?”
Ungkapan itu terus membuatnya berpikir, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah. Kampung yang ia anggap tidak bersahabat dan minim kepedulian dengan kondisinya, membuatnya rela meninggalkan tanah kelahiran dan keluarga besarnya.
Ia menuju Kota Bulungan. Alvius semakin mantab kala sang istri ternyata justru mendukung pilihannya.
Di kampung barunya, berbagai pekerjaan pernah ia lakoni. Mulai me-ngambau (tangkap kepiting menggunakan alat tangkap khusus), buruh bangunan, tanam padi gunung, hingga nelayan pancing. Ia pun ia bisa tegar menjalani hidup dan mengais rezeki.
Hubungan dengan banyak orang semakin baik ia jalin. Ia pun kepikiran untuk berpindah keyakinan. Realitas hidup umat Muslim yang ia jumpai, semakin menguatkan batinnya untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
Tepatnya pada Kami (18/07/2016), bertempat di Masjid Agung Istiqomah, atas kesadaran dan kerelaan, ia beserta isteri berpindah keyakinan dari Katholik ke Islam. Ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Alvius merubah namanya menjadi Muhammad Nur Hadi.
“Saya memeluk Islam ini awalnya karena jiwa kepedulian umat Muslim, itu yang banyak saya alami bahkan sampai sekarang. Tapi intinya, ini kesadaran bukan iming-iming apalagi paksaan,” ungkapnya seperti ditirukan Luqman, Kepala BMH Kalimantan Utara (Kaltara), kepada hidayatullah.com.
Usai memeluk Islam ia menghubungi orang tuanya, “Sekarang saya adalah Muslim, dengan pilihan ini saya dan keluarga akan semakin bahagia dan damai. Meski demikian kita tetap keluarga, meski keyakinan berbeda,” ucapnya.
Mendengar itu sang ibu menjawab, “Terserah kamu, kamu, kan, sudah dewasa.”
Demikianlah sepenggal cerita hidup yang dituturkan Nur Hadi alias Alvius. Ia mengalami lumpuh kaki sejak usia 2 tahun akibat polio. Saat ini ia berjalan menggunakan dua tangan.
Ia menuturkan kisahnya itu di sela-sela menerima bantuan biaya kontrakan rumah dan tunjangan hidup dari BMH Perwakilan Kaltara.*