Hidayatullah.com | AL-QURAN adalah kalamullah yang mulia. Merupakan firman Dzat yang Maha Mulia, diperantarai malaikat terbaik, Jibril alaihissalam, lalu diwahyukan kepada utusan terbaik, Nabi Muhammad ﷺ. Satu-satunya mukjizat yang tak lekang oleh zaman.
Maka di hadapan kemuliaannya yang begitu tinggi wajar bagi kita menjaga adab saat membacanya. Setelah sebelumnya kita telah membahas adab-adab dzohir membaca Al-Quran menurut Imam Al-Ghozali, kali ini kita akan membahas sepuluh adab-adab batin dalam membaca Al-Quran menurut beliau.
Pertama, fahm ashl al-kalam, memahami akan keagungan kalamullah. Hendaknya kita memahami keagungan dan ketinggian kalam-Nya. Menyadari kasih sayang dan kelembutan-Nya atas hamba-hamba-Nya yang mana dengan hal itu Allah ta’ala menurunkan keagungan kalam-Nya kepada derajat yang dapat difahami oleh makhluk-Nya. Kalaulah bukan karena hakikat keagungan kalamullah tertutup pakaian huruf, tentulah Arsy ataupun bintang-bintang tak kuat mendengarnya, lebih dari itu tentulah keduanya akan hancur lebur bagai Gunung Thur Sina saat Musa alaihissalam hendak melihat-Nya.
Kedua, at-ta’dhim lil mutakallim, mengagungkan Allah sebagai dzat yang berfirman. Seseorang yang membaca Al-Quran hendaknya semenjak awal menghadirkan keagungan Allah ta’ala sebagai dzat yang berfirman dalam hatinya. Menyadari bahwa apa yang sedang dibaca bukanlah perkataan manusia. Juga harus mengetahui adanya konsekwensi besar dalam membacanya karena Allah ta’ala berfirman:
لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُون
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS: Al-Waqi’ah : 79)
Maka sebagaimana sampul mushaf dan kertasnya yang tak boleh disentuh sembarang orang kecuali orang-orang yang bersuci maka kandungan maknanya pun tak dapat difahami kecuali oleh hati yang bersih dan bercahaya dengan cahaya pengagungan kepada-Nya. Maka tidak heran jika Ikrimah bin Abi Jahl pingsan ketika diberi mushaf dan berkata, “Ia kalam tuhanku, ia kalam tuhanku.”
Dan cara menghadirkan pengagungan terhadap kalamullah adalah dengan terlebih dulu menghadirkan pengagungan kepada pemilim kalam, yaitu Allah ta’ala. Dengan merenungi ciptaannya mulai dari Arsy, kursi, langit, bumi, jin, manusia, hewan, tumbuhan. Memahami bahwa Dzat yang kuasa menciptakannya Dialah yang memberi rizki seluruh makhluknya, melingkupi mereka semua dengan rahmat ataupun adzab. Nikmat-Nya murni karena pemberian-Nya sedangkan adzabnya murni karena keadilan-Nya. Dengan merenungi hal-hal tersebut akan tumbuh pengagungan kepada Allah ta’ala, selanjutnya akan tumbuh pengagungan terhadap kalamullah.
Ketiga, hudhurul qolb wa tark hadits an-nafs. Menghadirkan hati serta meninggalkan bisikan dalam diri. Allah ta’ala berfirman:
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
“Wahai Yahya, ambillah Kitab itu dengan kuat.”
Dikatakan bahwa tafsir makna kuat adalah dengan usaha yang kuat, bersungguh sungguh. Maka maksud mengambilnya dengan usaha yang kuat ialah dengan memfokuskan pikiran hanya padanya dan melepaskan diri dari segala hal selainnya. Dahulu sebagian salaf ketika membaca ayat Al-Quran dan merasa hatinya tidak hadir, mereka mengulangi lagi bacaannya.
Keempat, tadabbur, memahami makna bacaan. Disebabkan hal inilah disunnahkan bagi kita membaca Al-Quran dengan tartil sehingga dapat mentadabburi kandungannya. Ali bin Abi Thalib berkata:
لَا خَيْرَ فِي عِبَادَةٍ لاَ فِقْهَ فِيْهَا وَلاَ فِي قِرَاءَةٍ لاَ تَدَبُّرَ فِيهَا
“Tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan pula pada bacaan yang tidak ada tadabbur di dalamnya.”
Kelima, tafahhum, menyelam-renungi kandungan ayat. Yaitu memahami secara jelas apa kandungan dari ayat yang dibaca. Dimana di dalamnya terkandung banyak hal, seperti penyebutan sifat-sifat dan af’al Allah ta’ala, penyebutan kisah para nabi, keadaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah ta’ala dan bagaimana kehancuran mereka, tentang berbagai perintah dan larangan-Nya, tentang perkara Surga dan Neraka.
Sebagai misal, Allah menunjukkan sifat-Nya dalam ayat:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيم
“Tiada satupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. As-Syuro : 11)
Atau yang menjelaskan tentang af’al-Nya seperti ayat-ayat yang mengandung makna Allah ta’ala lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, dst. Dan seharusnya ketika kita mendengar ayat tentang penciptaan manusia dari setetes mani, kita tidak hanya merenungi air mani tapi juga merenungi bagaimana prosesnya hingga menjadi daging, tulang, urat nadi, otot. Dan bagaimana ia berproses menjadi bentuk-bentuk yang berbeda seperti kepala, tangan, kaki, jantung, hati, dst. Kemudian ia dapat memiliki kemampuan yang luar biasa seperti pendengaran, penglihatan, mempu berfikir, dst. Begitu juga dapat memiliki sifat buruk seperti syahwat, sombong, bodoh, ingkar, dst. Maka dengan merenungi keajaiban-demi keajaiban tersebut kita akan menyadari dan mengagungkan sifat Pencipta dari keajaiban itu yaitu Allah ta’ala.
Ketika mendengar ayat tentang kisah para nabi, bagaimana mereka didustakan, disiksa, bahkan sebagian dibunuh, kita memahami sifat-Nya yang sedikitpun tak membutuhkan makhluk. Ketika kita mendengar kisah pertolongan-Nya bagi nabi-Nya, kita memahami sifat Maha Kuasa Allah ta’ala dan bahwa Allah ta’ala pasti akan membela mereka yang benar.
Dan begitulah pula seharusnya kita merenungi ayat-ayat Allah ta’ala yang lain.*/Aulia El Haq (BERSAMBUNG)