Hidayatullah.com | SEPANJANG hidup saya, rasanya saya tidak pernah menuntut hak saya atau membalas secara lisan terhadap kritikan dan tekanan yang menghancurkan. Karena menuntut hak dan membalas secara lisan itu hanya akan menuai kerugian dan penyesalan yang lebih besar.
Artinya, saya mengira bahwa jika saya membersihkan diri saya dari keburukan dan tekanan yang memang harus menimpa diri saya, maka dengan pembersihan diri dan menuntut itu saya telah mengembalikan hak, anggapan, dan kedudukan jiwa saya. Tapi ternyata sebaliknya. Justru itu menimbulkan kerenggangan antara saya dengan orang yang mengkritik dan menekan saya.
Dan, lebih dari itu, menyulutkan api permusuhan, dan sikap tidak menerima meski jelas-jelas ia yang bersalah. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak menuntut hak saya, dan bahwa jalan terbaik untuk keluar dari masalah ini adalah memaafkan, menganggapnya tidak pernah terjadi, bersabar, tabah, dan menutup telinga dan mata terhadap semua yang pernah terjadi.
Ternyata seperti inilah ajaran wahyu Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”(QS:. Al-A’râf: 199).
ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
“Dan, hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.” (QS: An-Nur:22)
الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِؕ
“Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (QS: Ali `Imrân: 134)
وَلَا تَسۡتَوِى الۡحَسَنَةُ وَ لَا السَّيِّئَةُ ؕ اِدۡفَعۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ فَاِذَا الَّذِىۡ بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِىٌّ حَمِيۡمٌ
“Tidak sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, dan tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah dia telah menjadi teman yang amat setia.“ (QS: Fushshilat: 34).
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan/kebaikan.”(QS: Al-Furqân: 63).
Oleh karena itu, jika mendengar kata-kata yang tidak mengenakkan terucap oleh mulut orang lain, jangan buru-buru membalasnya sampai katakata itu terucap sepuluh kali. Sebaliknya, jika mendengar pujian atas diri Anda maka bersikaplah seakan-akan Anda tidak mendengarnya.
Permasalahannya, jika Anda membalasnya dengan kata-kata yang lain, maka orang akan sibuk dengan balasan itu. Jika ada pernyataan pedas yang dialamatkan kepada Anda maka redamlah kepedasannya itu dengan bersikap pura-pura tidak tahu.
Anggaplah bahwa orang yang menyatakan itu tidak mengarahkannya kepada diri Anda. Jika ada yang mengkritik karena dengki, maka biarkan ia bicara apa saja dan anggap bahwa dia sedang bercakap-cakap dengan tembok bangunan. Kalangan salafus sholeh pernah memberikan tips bahwa ketabahan hati itu akan menguburkan segala aib.
Laut yang luas tidak akan terpengaruh oleh lemparan batu seorang anak kecil Laut itu suci airnya, halal bangkainya. Air itu bila sudah melebihi dua qullah maka tidak lagi akan dianggap najis jika ada benda najis yang masuk ke dalamnya.
Seperti itulah analogi seorang yang sabar, berani, dan cerdas, memiliki kekebalan untuk dibenci orang. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah orang yang terputus (dari rahmat Allah). (QS: Al-Kautsar: 3).
Orang sabar memiliki benteng yang kokoh yang melindunginya dari gangguan orang iseng. Sebab sesungguhnya Allah selalu menjaga kita.
{وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا}
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (QS: Ath-Thur: 48).*/Dr ‘Aidh al-Qarni, La Tahzan (Jangan Bersedih)