Hidayatullah.com—Pemerintah Inggris sedang menyusun rancangan undang-undang yang akan menjadikan aktivitas menyebarkan gambar alat kelamin di internet sebagai kejahatan, lapor surat kabar Metro UK. Pria yang mengirim foto alat kelamin yang tidak diminta dapat menghadapi hukuman dua tahun penjara dan diminta menandatangani daftar pelaku kejahatan seksual.
Undang-undang baru yang akan melarang apa yang disebut cyber-flashing untuk pertama kalinya sedang direncanakan oleh Pemerintah. Jaksa telah berjuang untuk menghukum orang karena mengirim foto alat kelamin mereka kepada orang asing karena undang-undang saat ini sulit diterapkan di dunia online.
Beberapa tahun terakhir telah melihat pelanggaran menjadi biasa dengan orang-orang yang menggunakan teknologi baru seperti Wifi, Bluetooth dan AirDrop untuk mem-flash orang asing saat berada di tempat umum dan di kereta api dan bus. Menteri Kehakiman Victoria Atkins mengkonfirmasi masalah ini di Parlemen dengan mengatakan bahwa pemerintah akan menjadikan tindakan menunjukkan alat kelamin dunia maya sebagai kejahatan.
Apa itu cyber-flashing?
Cyber-flashing telah didefinisikan oleh Komisi Hukum sebagai ‘pengiriman gambar atau rekaman video alat kelamin, misalnya, gambar alat kelamin yang dikirim melalui AirDrop.Gambar-gambar tersebut biasanya dikirim oleh seseorang yang tidak dikenal oleh korban dan melibatkan penggunaan platform email atau media sosial.
Menteri Kehakiman Victoria Atkins mengkonfirmasi di Commons pada hari Selasa bahwa Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menjadikan cyber-flashing sebagai kejahatan. “Terkait kegiatan yang mengekspos dunia maya, saya ingin mengonfirmasi bahwa pemerintah sedang mencari cara untuk menjadikan kegiatan semacam itu sebagai kejahatan modern,” katanya.
Dia mengatakan ini sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh mantan Menteri Kesetaraan Partai Konservatif, Maria Miller, yang bertanya tentang undang-undang yang berkaitan dengan perilaku tersebut.
Praktik ekshibisionime di dunia daring (online) sedang menjadi sorotan di Amerika Serikat dan Eropa. Di AS, praktik ini sedang menjadi sorotan dua senator.
Menurut Pew Research Center, sebuah perusahaan riset, dalam laporannya menyebutkan, sekitar 53 persen perempuan muda dan 37 persen lelaki muda AS mengaku telah dikirimi materi cabul secara online yang tidak pernah dimintanya. Di Inggris, laporan statistik Kepolisian Transportasi Inggris (BTP) menunjukkan ada peningkatan kasus antara 2018-2019 (sekitar 34 kasus), jumlah melonjak hampir dua kali lipat menjadi 66 kasus sepanjang tahun lalu.
Di AS, dua senator mengusulkan RUU larangan cyber-flashing. RUU itu diperkenalkan sebagai Senate Bill (SB) 1182 atau UU Forbid Lewd Activity and Sexual Harassment (Flash) atau Larangan Aktivitas Cabul dan Pelecehan Seksual.
Senator Connie Levya dan Lena Gonzales, yang mengusulkan RUU ini pada 20 Februari 2020 mengatakan, dengan adanya RUU ini, “Pelaku akan dimintai pertanggungjawabannya,” ujar dia.
Sesuai RUU tersebut, pelaku cyber-flashing akan didenda US$ 500 (sekitar Rp 6 juta) untuk pelanggaran pertama, sedangkan pelaku yang melanggar berulang-ulang akan didenda US$ 1.000 (sekitar Rp 13 juta) untuk setiap pelanggaran selanjutnya.*