Hidayatullah.com–Kekerasan seksual dalam pacaran atau dikenal sebagai dating rape menjadi salah satu isu paling krusial yang disoroti dalam Webinar Nasional “Membangun Kesehatan Reproduksi yang Bebas Stigma”, yang digelar oleh Fakultas Ilmu Kesehatan Kedokteran dan Ilmu Alam (FIKKIA) Universitas Airlangga (UNAIR) pada Ahad (8/6/2025).
Dr. Lutfi Agus Salim, S.KM., M.Si., dosen FKM UNAIR dan peneliti bidang kesehatan reproduksi, gender, dan kependudukan dalam paparannya menyampaikan bahwa isu kesehatan reproduksi tidak bisa hanya dilihat dari sisi medis semata, namun harus ditelaah lebih luas dalam kaitannya dengan faktor sosial, ekonomi, geografi, psikologi, hingga relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
Salah satu isu yang dikupas mendalam oleh Dr. Lutfi adalah dating rape, yaitu pemerkosaan yang terjadi dalam hubungan pacaran.
Menurutnya, kasus seperti ini sering kali tidak dikenali sebagai kekerasan karena dilandasi oleh hubungan “suka sama suka” atau kedekatan emosional yang keliru.
“Dating rape termasuk dalam kategori seductive rape,” jelas Dr. Lutfi. “Yaitu pemerkosaan yang dipicu oleh situasi merangsang yang mungkin diciptakan bersama. Namun ketika salah satu pihak memutuskan untuk berhenti atau menolak, dan pihak lainnya tetap memaksa, itulah pemerkosaan.”
Fenomena ini, lanjutnya, berakar dari pemahaman maskulinitas yang salah. Seorang laki-laki yang merasa bahwa untuk membuktikan dirinya sebagai lelaki sejati, ia harus ‘menaklukkan’ pasangannya.
“Jika ia tidak memaksa, dia merasa gagal sebagai laki-laki,” ujar Dr. Lutfi dengan tegas.
Dalam banyak kasus, korban sudah memberikan batasan tegas. Namun karena tidak adanya pemahaman tentang persetujuan (consent), pelaku mengabaikannya.
Inilah yang membuat banyak remaja perempuan menjadi korban, bahkan oleh pacarnya sendiri.
Kesehatan Reproduksi: Bukan Sekadar Medis
Lebih jauh, Dr. Lutfi menekankan bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya urusan organ tubuh dan pencegahan penyakit, melainkan juga menyangkut relasi sosial, kesadaran akan hak, dan pemenuhan kebutuhan emosional serta psikologis individu.
“Ketika berbicara tentang kesehatan reproduksi, kita berbicara tentang otonomi tubuh, persetujuan, dan relasi yang sehat,” jelasnya.
Dalam teori reproduksi yang inklusif, kesehatan itu menyangkut hak untuk memilih, hak untuk mengatakan tidak, dan hak untuk mengakses layanan kesehatan tanpa diskriminasi atau stigma.
Sayangnya, ujar Dr. Lutfi, stigma masih menjadi penghalang besar, terutama bagi remaja perempuan. “Banyak remaja takut bicara soal seksualitas atau kekerasan yang mereka alami karena takut dicap buruk,” katanya. Padahal, keterbukaan informasi justru menjadi kunci pencegahan.
Webinar yang dilaksanakan secara daring ini diikuti lebih dari 500 peserta remaja dan mahasiswa dari berbagai daerah, dalam rangka program PHOENIX yang mendorong pemahaman komprehensif soal kesehatan reproduksi berbasis kesetaraan dan perlindungan hak.
Acara yang dipandu oleh mahasiswa FIKKIA, Regina Saraswati, itu berhasil membangkitkan antusiasme peserta. Salah satunya, Alifah, peserta asal Jawa Barat.
“Saya baru sadar bahwa kekerasan bisa terjadi dalam pacaran tanpa kita sadari. Terima kasih, acara ini membuka mata dan pikiran kami.”
Ketua Pelaksana acara, Salwa Roudhotul, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini memang dirancang sebagai ruang reflektif dan edukatif.
“Kita tidak hanya ingin tahu, tapi juga sadar dan bertindak. Menyuarakan yang benar dan mematahkan stigma.”
“Jangan pernah takut bicara soal hak tubuhmu. Kamu berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh terjadi pada dirimu. Dan itu bukan berarti kamu tidak mencintai seseorang — itu berarti kamu mencintai dirimu sendiri,” tambah dia menutup sesi dengan pesan kepada generasi muda.*