Ketika Imam As Syafi’i menderita sakit, sang murid Al Muzani menjenguknya. “Bagaimana keadaan Anda?”, tanya sang murid.
“Aku memakan rizkiku dan menunggu ajalku”, jawab Imam As Syafi’i.
“Bagaimana jika aku memanggil seorang dokter untuk mengobati Anda?” Izin sang murid. Dan Imam As Syafi’i pun mingizinkannya.
Setelah itu datanglah seorang dokter Nasrani. Imam As Syafi’i yang yang juga memeiliki pengetahuan mengenai kedokteran memeriksa tangan sang dokter. Imam As Syafi’i melihat sang dokter juga sedang sakit.
Setelah peristiwa itu Imam As Syafi’i bersyair,”Telah datang seorang dokter memeriksaku dan aku memeriksanya. Lantas dengan kondisi dokter yang demikian. Ia mengobatiku sepenjang masa sakitnya. Dan termasuk keajaiban, ada orang buta yang menjadi dokter mata”.
Selang beberapa hari ketika sang dokter wafat, Imam As Syafi’i pun bersyair kembali,”Sesungguhnya dokter dengan ilmu dan obatnya tidak mampu melawan ketentuan takdir. Sang dokter tidak lain wafat dengan penyakit serupa yang terkadang bisa disembuhkan di masa sebelumnya. Wafatlah dokter, pasien, pembuat obat, penjualnya maupun yang membelinya”.* (Manaqib As Syafi’i li Al Baihaqi, 2/296)