Sejak ditolak, putera-putera khalifah menghadiri majelis Abu Dawud, duduk bersama masyarakat umum, dengan diberi tirai pemisah
Hidayatullah.com | AL-KHITHABI bercerita, “Abdullah bin Muhammad Al-Makki telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Jabir pelayan Abu Dawud—semoga Allah merahmatinya- telah menceritakan kepadaku, “Aku menemani Abu Dawud di Baghdad. Suatu kali kami shalat Maghrib berjamaah. Lalu dia didatangi Amir Abu Ahmad Al-Muwaffag. Dia masuk dan disambut hangat oleh Abu Dawud. Abu Dawud berkata, “Apa yang membuat engkau datang kemari pada waktu seperti ini?”
Amir Al-Muwaffaq menjawab, “Ada tiga urusan.” “Urusan apa itu?” Tanya Abu Dawud.
Amir mengatakan, “Sebaiknya engkau tinggal di Bashrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia datang ke sini dan belajar kepadamu. Dengan demikian kota Bashrah akan makmur lagi. Karena Bashrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.”
Abu Dawud berkata, “Itu yang pertama. Kemudian apa yang kedua?”
Amir berkata, “Hendaknya engkau mau mengajarkan Sunan-mu kepada anak-anakku.”
“Kemudian yang ketiga?” Tanya Abu Dawud.
Amir berkata, “Hendaklah engkau membuat majelis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada anak-anak khalifah yang enggan duduk bersama masyarakat umum.”
“Permintaan ketiga tidak bisa aku kabulkan,” jawab Abu Dawud. “Karena derajat manusia itu, di mata ilmu sama,” ujarnya.
Sejak itu putera-putera khalifah menghadiri majelis Abu Dawud, duduk bersama masyarakat umum, dengan diberi tirai pemisah dan belajar bersama mereka.” (Diambil dari Kitab Siyar A’lam An-Nubala karya Imam Adz-Dzhahabi yang diterjemahkan Dr Sulaiman Al-Asyqar, Al-Kautsar)