DENGAN motor yang lumayan baru, laki-laki muda itu setiap pagi mengantar istrinya bekerja. Mereka tidak berdua. Ada manusia mungil yang senantiasa menyertai mereka. Bocah laki-laki, kira-kira berusia tiga tahun. Bercukur cepak ala tentara.
Jika sempat dan kebetulan berbusana siap keluar, saya memberi sebungkus makanan ringan atau susu dus anak itu, lewat ibunya. Sang Ibu akan menerima dengan gembira, lalu mereka bertiga berbincang ringan tentang ‘hadiah’ pagi Si Bocah.
Si Ibu sudah masuk ke dalam rumah tempatnya bekerja, sebagai pembantu rumah tangga. Suaminya sendiri tukang ojek, yang bertugas mengantar-jemput beberapa anak sekolah di kompleks tempat saya dan majikan Si Ibu tinggal.
Dari balik jendela ruang tamu, saya mengamati Si Bapak dan Si Bocah yang masih duduk di atas motor. Saya mengamati mereka sambil membereskan sisa-sisa pekerjaan tangan Si Tengah: kertas, karton, spidol, gunting, lem, yang berserakan, yang sempat membuat saya kesal dan memintanya bergegas subuh tadi. Disertai pula omelan yang tak menyelesaikan masalah, “Kenapa gak dikerjain dari kemarin-kemarin? Nunda-nunda, ya gini deh jadinya. Gak bisa maksimal. Kemarin ngapain ajah? Kan libur?”
Si Bapak tak kunjung menyalakan motornya untuk berlalu. Sepertinya ia membukakan anaknya kemasan makanan ringan yang tadi saya berikan. Ia lalu menunggui anaknya puas makan. Mungkin sampai habis. Cukup lama, sampai keberantakan di ruang tamu tuntas saya bereksan. Meski dari jarak kira-kira 20 meter, saya bisa membaca tak ada rasa kesal menunggui anaknya makan.
Tiba-tiba saya merasa seperti tertohok. Laki-laki sederhana beberapa meter di hadapan saya, tampak begitu menikmati waktunya sebagai Ayah. Tak ada ketergesaan. Tak ada gusar. Pada jam-jam di mana begitu banyak orang stres mengejar waktu, terjebak macet, terbayang agenda kerja di kantor, konflik dengan rekan kerja dan bos. Pagi kebanyakan mereka bukanlah pagi yang damai, tapi penuh pertengkaran. Tentang perlengkapan berangkat kantor atau sekolah yang tidak ada di tempatnya, anak-anak yang enggan menghabiskan sarapan, lambat ganti pakaian, menelantarkan piyama tidurnya di sana dan di sini, handuk basah melengkapi sprei yang acak-acakan.
“Ayo cepat, bentar lagi telat! Sisa 15 menit lagi!”
“Ayo, jangan lupa minum vitaminnya!”
“Addduuuh, bukan saatnya ngobrol tentang itu!”
“Loh, bukannya kemarin bilang seragamnya sudah lengkap?”
Saya tidak tahu ada berapa banyak keluarga yang merasa pagi mereka dekat dengan kalimat-kalimat seperti di atas. Masing-masing kita bisa mengukurnya sendiri. Atau, ada juga keluarga yang terhindar dari percakapan seperti di atas karena mempekerjakan beberapa dayang-dayang untuk mengerjakan apa yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri.
Tapi, apakah keluarga yang paginya tak damai, berarti tidak lebih ‘sukses’ menjalani hidup daripada keluarga laki-laki sederhana di luar sana itu?
Saya tidak tahu. Yang jelas, damai di pagi ahri adalah impian tiap orang. Dan hak tiap orang. Dan bukan sebuah kemustahilan, bagi siapa saja.
“To be intime” tak berarti “to be in quarrel”. Intinya bagaimana memenej waktu dengan baik. Boleh jadi keluarga sederhana itu tak merasakan damai apa yang orang lain melihatnya damai, dan jauh di dalam hatinya, mereka justru mengira keluarga penontonnya lah yang lebih damai. Rumput tetangga selalu lebih hijau, bukan? Intinya, kita menjalani hidup yang telah diamanahkan Allah kepada kita, dengan segala macam bentuknya, sebaik-baiknya. Aturan dan pedomannya sudah jelas. Yang terbaik adalah yang paling bisa berjalan di atas aturan dan pedoman itu. Dan itulah hakikat kemenangan yang sebenarnya.
Boleh jadi, jauhnya rasa damai di pagi hari, bukan karena kondisi atau fase kehidupan yang sedang kita jalani. Tapi cara kita mengisi kondisi atau fase tersebut. Allah memberikan sarana dan fasilitas sekaligus petunjuk, tinggal bagaimana kita memadukan unsur-unsurnya menjadi senyawa yang bisa menebarkan aroma damai, sejahtera dan bahagia tentunya.
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berdoa: “Ya Allah, berkahilah ummatku di pagi hari.” Rasulullah biasa mengirim sariyyah atau pasukan perang di awal pagi dan Sakhru merupakan seorang pedagang, ia biasa mengantar kafilah dagangnya di awal pagi sehingga ia sejahtera dan hartanya bertambah.” (HR Abu Dawud 2239)
Allah SWT memerintahkan manusia agar memperhatikan waktu pagi dan petang sebaik-baiknya.
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]:205)
Yang jelas, sederhana tidak berarti harus jadi pihak yang menerima. Allah lebih menyukai seorang hamba yang kuat, yang bisa memberi, yang tangannya di atas. Termasuk, memberi rasa damai bagi orang-orang di sekitarnya.*/Nesia Andriana Arif, Penulis “Dengan Pujian, Bukan Kemarahan”.