Oleh: Kholda Naajiyah
WORLD Breastfeeding Week (WBW) atau Pekan ASI Sedunia (PAS) dirayakan setiap 1-7 Agustus setiap tahun. Tema yang diusung seluruh negara sama, tahun ini tentang “Menyusui dan Bekerja: Mari Kita Sukseskan!”.
Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Pusat, Mia Sutanto mengajak semua pihak untuk menyukseskan kegiatan menyusui. Tema Pekan ASI Dunia ini dipilih mengingat semakin banyak ibu harus bekerja, karena desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Dan, mereka memerlukan dukungan agar bisa melaksanakan kedua perannya sekaligus dengan seimbang sebagai seorang ibu dari anaknya dan juga pencari nafkah keluarga.
“Untuk itu cuti yang cukup, fasilitas yang layak di tempat kerja saat seorang perempuan kembali bekerja, serta dukungan keluarga dapat membantu ibu untuk tetap dapat menyusui bayinya hingga 2 tahun,” jelas Mia (republika, 3/8/15).
Tugas Kodrati
Sejatinya, menyusui bayi adalah tugas kodrati ibu yang dipahami betul sejak zaman kuno. Secara turun temurun, alami dan naluriah, seorang ibu sadar dan senang melakukan kewajibannya menyusui anak. Lantas mengapa sampai ada pekan ASI segala? Mengapa menyusui saja harus dikampanyekan?
Tidak dipungkiri, fakta perempuan modern saat ini, telah tergerus kesadarannya untuk memberikan ASI pada sang buah hati. Penyebabnya, pertama, dipengaruhi oleh persepsi akan gaya hidup modern yang menganggap menyusui adalah perilaku ketinggalan zaman. Ibu menyusui berarti ibu tradisional, tidak modern. Sebagian bahkan menilai, menyusui dapat merusak bentuk tubuhnya (baca: payudaranya).
Kedua, kesibukan ibu modern dalam bekerja atau berkegiatan sosial hingga merasa repot jika harus menyusui. Bayi yang lebih banyak dititipkan pada baby sitter, tentu saja akhirnya hanya mendapatkan susu formula sebagai pengganti ASI. Terlebih, iklan-iklan susu formula telah mengubah kebanggaan kaum ibu bahwa susu botol dianggap lebih bagus dan merupakan makanan terbaik bagi bayi.
Ketiga, di kalangan kaum marginal, kesadaran kaum ibu mengenai pentingnya ASI rendah. Lagi-lagi, mereka meniru para panutannya yang di mata mereka lebih hebat dengan susu formula. Atau, termakan iklan susu formula.
Keempat, kurangnya kegigihan kaum ibu dalam memberikan ASI. Banyak yang menyerah lebih awal dengan berbagai alasan seperti: rasa nyeri saat menyusui, dan klaim bahwa ASI-nya tidak keluar. Memang, ada perempuan yang kurang beruntung tidak dianugerahi ASI melimpah. Namun itu tidak banyak. Terkadang, hanya kurang rangsangan saja.
Inilah mengapa menyadarkan kembali akan pentingnya ASI terus didengungkan. Memang bukan perkara mudah. Juga, bukan tanggungjawab kaum ibu saja, tapi juga butuh dukungan sistem dan pemerintah.
Generasi Kurang ASI
Bila kita cermati fakta tentang semakin banyaknya anak-anak bermasalah di masa kini, boleh jadi hal itu disebabkan kegagalan pemberian ASI. Loh, kok bisa? Sebab, ASI bukan sekadar pemberian asupan nutrisi terbaik bagi anak, tapi juga pondasi terjalinnya ikatan emosional (bonding) antara ibu dan anak.
Seorang bayi mendapatkan dekapan hangat, kasih sayang, dan perlindungan saat menyusui. Sehingga, bayi tidak mudah stres akibat perubahan drastis di awal-awal kehidupannya. Bayangkan saja, beberapa menit lalu sang bayi masih meringkuk dalam rahim yang gelap, tiba-tiba berada di ruang bebas yang terang benderang begitu dilahirkan. Tak mudah bagi bayi untuk beradabpasi. Ia sangat butuh dekapan sang bunda, sebagaimana saat meringkuk nyaman di dalam rahimnya.
Pembentukan bonding ini sangat penting sebagai pondasi kepercayaan diri anak di masa-masa pertumbuhannya.
Mother-infant bonding (ikatan ibu-anak) merupakan pembentukan hubungan timbal balik secara emosional antara ibu dan si kecil. John Bowlby dengan teorinya yang terkenal mengenai attachment behavior (tingkah laku karena kedekatan) mengatakan bahwa perilaku yang menyebabkan seseorang dekat dengan individu tertentu secara mencolok ditemui pada periode awal kehidupan, terutama pada 9 bulan pertama hingga usia 3 tahun. Di sinilah pembentukan karakter seorang anak berawal. Apabila terjadi gangguan pada proses attachment pada waktu kritis ini, sangat mungkin pada saat dewasa timbul berbagai gangguan tingkah laku, seperti agresif, depresi dan gangguan emosi lainnya (www.idai.or.id)
Karena itu, ASI memang bukan transfer air susu, lebih dari itu sebagai pondasi penting bagi pembentuan generasi. Maka, jangan sampai terjadi generasi kurang ASI yang berujung pada fisik dan pribadi yang lemah.
Bukan Solusi
Dahlan Iskan sewaktu menjadi Menteri BUMN pernah mencetuskan wacana agar pekerja wanita mendapat cuti dua tahun. Waktu yang sangat tepat saat melahirkan dan menyusui anaknya. Mendampingi tumbuh kembangnya di masa-masa kritis awal kehidupan seorang bayi di muka bumi.
Namun, wacana itu hanya menjadi angin lalu. Tidak ada yang berani mengimplementasikan.
Tampak, bahwa pemerintah dan elemen terkait belum memiliki good will untuk menyelamatkan nasib bayi-bayi para perempuan pekerja ini dari devisit ASI. Di satu sisi kampanye ASI kencang, di sisi lain tidak ada kebijakan revolusioner yang mendukung keberhasilannya.
Namun, bila usulan cuti panjang bagi ibu pekerja diberikan, apakah itu solusi terbaik? Tidak. Cuti panjang hanya solusi parsial. Sebab, selesai tugas menyusui selama dua tahun, tugas ibu terhadap anaknya masih panjang. Terpenting, mendidik anak-anak di masa kritis lima-enam tahun awal pertumbuhannya. Jadi, yang dibutuhkan ibu memang bukan cuti 2 tahun saja, kalau bisa selamanya alias tidak lagi bekerja.
Bagaimana dengan penyediaaan fasilitas-fasilitas laktasi di kantor-kantor dan tempat-tempat publik? Itu juga hanya solusi parsial dan jangka pendek. Bahkan, bisa jadi dampaknya akan semakin mendorong para perempuan untuk rame-rame bekerja. Mereka tetap merasa masih bisa menjalankan kewajibannya menyusui. Padahal, yang terpenting evaluasi dulu, mengapa kaum ibu harus bekerja? Mengapa tidak menjalankan tugasnya full sebagai ibu bagi anak-anaknya?
Ibu Generasi
Ya, fakta bahwa banyak ibu bekerja, sebenarnya juga harus diatasi. Sebab, akan menjadi bom waktu jika mayoritas perempuan mengambil peran mencari nafkah dan meninggalkan tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta pendidik anak-anak.
Jadi, perlu dicari akar penyebabnya, benarkah mereka bekerja murni keinginan para wanita sendiri, atau keterpaksaan? Jujur, hampir semua ibu pekerja, tidak bisa membohongi hati nuraninya, bahwa setelah memiliki anak ingin sekali menjadi full time mother. Memberi perhatian penuh pada sang buah hati, karena tak ingin kehilangan masa-masa pertumbuhan emasnya.
Tapi, keadaanlah yang memaksa ia tetap bekerja. “Paksaan” itu bisa jadi karena nafkah dari suami tidak mencukupi. Bisa juga karena tekanan opini bahwa menjadi ibu rumah tangga saja dianggap perempuan tidak berdaya. Sayang jika lulusan sarjana hanya “menganggur” jadi ibu rumah tangga. Bisa juga karena pengaruh gaya hidup konsumtif yang menyebabkan wanita ingin memiliki penghasilan sendiri, demi memenuhi hasrat belanjanya yang menggila tanpa mengganggu nafkah dari suami.
Nah, fakta ini perlu dicarikan jalan keluar. Pertama, penyadaran pada kaum laki-laki bahwa nafkah berada di pundaknya. Mereka wajib berusaha keras memenuhi kebutuhan kaum ibu semaksimal mungkin. Di sini, butuh peran besar sistem pemerintah. Misal, bagi pekerja laki-laki yang telah beristri dan memiliki anak, maka harus diberikan hak berupa tunjangan yang cukup. Dengan demikian istri tidak perlu bekerja, karena telah ditanggung suami.
Perusahaan pun akan diuntungkan, karena karyawan yang diberi jaminan kebutuhan pokoknya tentu akan makin loyal, semangat dalam berkarya dan produktif. Jika perusahaan tidak mampu memberi tunjangan, tugas negara untuk memberikan subsidi. Inilah peran negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk kaum ibu.
Memprioritaskan laki-laki pekerja dengan gaji dan tunjangan keluarga yang cukup, juga akan mengurangi jumlah pengangguran laki-laki. Bukankah jika laki-laki nganggur, akhirnya sang istri juga yang terpaksa bekerja? Ini seperti lingkaran setan yang tak akan pernah menemukan solusi.
Ingat, peran istri dalam mengatur rumah tangga dan mendidik anak bukanlah remeh temeh. Di tangan merekalah generasi-generasi penerus bangsa ini. Bukan hanya hak atas ASI, anak-anak berhak atas sentuhan kasih sayang, perhatian dan pembelajaran kehidupan dari orang pertama yang dikenalnya, yakni ibunya.
Maka, mengampanyekan “pentingnya ibu bekerja memberikan ASI” saja tidak cukup. Jika mau sepenuh hati, entaskan para perempuan pekerja yang masih memiliki tanggungan balita itu agar dapat sepenuhnya memberikan ASI dan sekaligus mendampingi dan mendidik sang buah hati di masa-masa emas dan kritis pertumbuhannya. Inilah bentuk kepedulian sepenuh hati pada kaum ibu, agar tidak terus dirundung dilema antara kerja dan anak. Wallahu’alam.*
Aktivis dakwah dan penulis buku “Warna-warni Muslimah”.