Ayo g**ang d**ang
biar hati s**ang
fikiranpun t**ang
galau jadi h**ang
Boleh dikata, lebih banyak yang mengenal lagu ini daripada tidak. Sekurangnya ia pernah mendengar lagu tersebut, entah sengaja atau tidak, kapan ataupun di mana. Sebuah lagu yang berisi kata-kata yang tak layak dikonsumsi anak kini makin bertebaran bahkan hingga dilombakan.
Disebutkan, generasi anak tahun 1990-an masih bisa menikmati lagu anak-anak yang sesuai dengan usianya. Mulai dari tentang alam, keluarga, permainan, pertemanan dan indahnya dunia anak. Berbeda dengan zaman sekarang, di usia dini bahkan balita, anak-anak sudah diajari menghafal lagu bertemakan cinta, pengkhianatan, dilema, yang mereka sendiri belum memahami maknanya.
Ironis, sebab terkadang sebagian orang tua menganggap dengan menghafal lagu-lagu tersebut, berarti anak mereka adalah anak yang pandai. Mampu merekam dan menghafal lagu. Padahal andai anak dipahami sebagai aset akhirat, maka para orang tua niscaya berlomba mengenalkan dan mengajari anak-anaknya dengan agama. Menjadikan mereka dekat dengan al-Qur’an bahkan sebagai penghafal al-Qur’an.
Dengan pemahaman keliru tersebut, anak-anak lalu diajari bernyanyi, menari dan menikmati kehidupan orang dewasa di sekitarnya. Mungkin di keluarga mereka tidak ada yang memperdengarkan lagu-lagu tersebut. Tapi bila tetangga, teman sekolah, supir angkot, warung makan, hingga tukang sayur terus menerus memperdengarkannya maka tanpa sadar semua itu terekam oleh anak-anak. Akibatnya pembelajaran di rumah seolah lenyap tak berbekas.
Membatasi Bukan Berarti Tak Sayang
Hari ini tanpa sadar, seseorang diantar untuk tidak lagi merasa risih dengan syair dan model penyanyi tersebut. Akibatnya, sebagian mungkin merasa sudah biasa atau lumrah. Namun haruskah hal itu juga dinikmati oleh mereka yang masih berusia anak-anak? Sebab rasa ingin tahu mereka bisa jadi bumerang bagi orang tuanya nanti.
Bagi orang tua, menjaga keluarga adalah perintah yang tak bisa ditawar lagi. Membatasi apa yang didengar dan ditonton anak, membatasi kawan dan lingkungan bermain, membatasi waktu dan kebiasaannya sejak dini tentu bukan karena tidak sayang pada anak. Justru dengan niat mendidik mereka dalam kebaikan agama, maka para orang tua harus tegas membatasi apa yang merusak pendidikan agama dan akhlak mereka. Jauhkanlah sekali lagi hal-hal yang menghancurkan otak mereka. Sebaliknya hiasilah pikiran dan tingkah laku mereka dengan al-Qur’an. Kenalkanlah kepada mereka para pahlawan dan pejuang Muslim bukan justru meracuni mereka dengan nama-nama artis dan kebiasaan buruk mereka.
Mari saatnya membentengi mereka dengan bekal agama dan adab-adab yang baik. Disayangkan jika masih saja ada orang tua yang meremehkan hal ini dengan berdalih, anak akan paham sendiri jika dewasa nanti. Boleh jadi pemahaman itu datang seiring waktu berjalan. Namun satu hal yang menggelisahkan, seperti apa pemahaman mereka nanti? Adakah pemahaman itu benar sesuai kebenaran ajaran agama?
Hendaknya deretan kasus amoral yang menimpa masyarakat saat ini membuka mata para orang tua. Adakah hal itu terjadi begitu saja secara kebutlan, misalnya? Tentu saja tidak, sebab hal itu adalah akumulasi dari kebobrokan masyarakat yang bermula dari minimnya pendidikan adab dan agama untuk anak di rumah. Ibarat gunung es, apa yang tampak di permukaan media adalah hasil dari rusaknya tatanan pendidikan bangsa ini. Terakhir, ibu, bapak, nenek, kakek, tante, om, kakak, adik, dan siapapun kita mari selamatkan anak-anak dan adik-adik kita bersama. Jagalah kelangsungan masa depan mereka.*/Rizky N. Dyah, ibu rumah tangga di Kutai Barat