Wanita Muslimah harus senantiasa menunjukkan himmah (semangat) yang tinggi, lemah lembut tidak suka memaki, dan akhlak terpuji
Hidayatullah.com | AJARAN Islam yang termaktub dalam Al-Qr’an maupun hadits nabi diperuntukkan pada umat Rasulullah baik laki -laki maupun perempuan. Allah menyampaikan kepada kita dengan firmanNya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Artinya: “Dan sungguh engkau di atas akhlak yang agung.” (al-Qalam: 4)
Firman Allah ini menegaskan bahwa Rasulullah adalah utusanNya yang memiliki akhlaq yang tinggi. Sebagai pembawa ajaran akhlaq yang paling mulia, dan beliau berada di puncak kemuliaan akhlak. Hal ini dikuatkan dalam hadist. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukharidalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 45).
Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha menyampaikan kepada kita tentang akhlaq Rasulullah ﷺ:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Demikian juga Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyampaikan, sebagaimana ternukil dalam ash-Shahihain,
“Aku melayani Rasulullah ﷺ selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau berkata ‘uf’ kepadaku sama sekali. Tidak pula beliau berkata terhadap sesuatu yang telah aku lakukan, ‘Mengapa kamu lakukan itu?’ Tidak pula berkomentar terhadap sesuatu yang belum kulakukan ‘Mengapa kamu tidak melakukannya?’.
Sungguh luar biasa akhlaq yang telah beliau ajarkan kepada umatnya. Kelembutannya, keindahan perangainya, kesabaran hatinya terasa sesuatu banget.
Bagaimana tidak menjadi magnet bagi orang yang hatinya bersih, bagaimana tidak menjadi lembut bagi orang yang hatinya kasar, bagaimana tidak menjadi kawan saudara bagi orang yang memusuhinya. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya Islam yang di bawanya telah dipeluk oleh umat manusia kala itu.
Salah satu sahabat Rasulullah ﷺ Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, menyampaikan berita dari Rasulullah ﷺ bersabda:,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ وَأَقْرَبِكُمْ مِنّيِ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا
“Sungguh, orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. at-Tirmidzi, ash-Shahihah no. 791)
Banyak peristiwa yang menjelaskan kepada kita tentang berperilaku dengan akhlak yang baik menyebabkan seorang hamba dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu menyampaikan,
كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ كَأَنَّمَا عَلَى رُؤُوْسِناَ الطَّيْرُ، مَا يَتَكَلَّمُ مِنَّا مُتَكَلِّمٌ، إِذْ جَاءَ أُنَاسٌ فَقَالُوْا: مَنْ أَحَبُّ عِبَادِ اللهِ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: أَحْسَنُهمْ خُلُقًا
“Kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi ﷺ, seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung yang hinggap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berbicara. Tiba-tiba ada orang-orang yang datang lalu bertanya, ‘Siapakah di antara hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya?’ Nabi menjawab, ‘Yang paling bagus di antara mereka akhlaknya’.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 432 dan Shahih al-Jami’ no. 179)
Dikuatkan dengan sebuah hadist yang menjelaskan siapa yang dicintai Allah dan siapa yang di benciNya.Dari Sahl bin Sad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah/hina.” (HR. al-Hakim, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1378 dan Shahih al-Jami’ no. 1889)
Demikian juga kebaikan keIslaman seseorang sangat erat kaitannya dengan keindahan akhlaknya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah ﷺ bersabda,
خَيْرُكُمْ إِسْلاَمًا أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا إِذَا فَقُهُوْا
“Sebaik-baik keislaman seseorang dari kalian adalah yang paling bagus dari kalian akhlaknya, jika mereka faqih.” (HR . al-Bukharidalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 3312)
Makna “ jika mereka faqih”, diterangkan oleh al-Munawi rahimahullah, “Jika mereka memahami perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala (taat dalam perintah tersebut) dan larangan-larangan-Nya (menjauhi apa yang dilarang-Nya), serta berjalan di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah.” (Faidhul Qadir, 3/500).
Apalagi telah disampaikan akan keutamaan akhlaq menjadi amalan yang berat timbangannya , diberitakan oleh Abud Darda radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنَ الْخُلُقِ الْحَسَنِ
“Tidak ada suatu amalan pun yang paling berat dalam timbangan (seorang hamba) daripada akhlak yang bagus.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah 2/564).
Nah, bertolak dari keutamaan dan keagungan akhlak yang baik tersebut, seorang muslimah harus bersemangat untuk berhias diri dengannya. Dia bergaul dengan manusia dengan keluhuran akhlak dan kebagusan budi pekertinya, sebagaimana perintah sang Rasul ﷺ yang tersampaikan lewat dua sahabat yang mulia, Abu Dzar Jundab ibnu Junadah dan Muadz ibnu Jabal radhiallahu ‘anhuma,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang bagus.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmdizi dan al-Misykat no. 5083)
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi (2/1654) disebutkan penjelasan hadits di atas;
“Bercampur dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik. Maksudnya, mempergauli mereka dengan pergaulan yang indah dan semisalnya, seperti berwajah cerah berseri (ketika bertemu saudara), rendah hati, lembut, ramah, tidak kaku, mencurahkan kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut diharapkan akan beroleh kesuksesan di dunia. Di akhirat kelak dia akan beruntung dan selamat.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyatakan, “akhlak yang baik adalah bergaul dengan manusia dengan pergaulan yang indah, wajah cerah berseri, mencintai mereka, kasih sayang kepada mereka, bersabar terhadap mereka dalam apa yang tidak disukai, tidak merasa besar diri, tidak melanggar kehormatan mereka, menjauhi sikap kaku keras, marah, dan menuntut balas”.
Al-Imam al-Mujahid Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah menyifati akhlak yang baik dengan, “Wajah berseri-seri, mencurahkan segala kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi).
Kata al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Hakikat hasanul khulq (akhlak yang baik) adalah mencurahkan kebaikan, menahan gangguan, dan wajah berseriseri (bermuka manis).” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim).
Dari dasar inilah setiap muslim seharusnya berupaya keras untuk berakhlaq baik, karena hal ini akan mengundang kecintaan Allah kepada hamba. Maka seorang muslimah harus merasa penting dalam memperbaiki akhlaqnya, dengan membiasakan lemah lembut dalam berbicara.
Tutur kata yang baik dan lembut hanya didapat dari pemahaman terhadap din yang baik (berilmu), kedekatannya dengan Al-Qur’an, dan senantiasa dzikrullah. Karena dengan itulah seorang muslimah mampu mengendalikan dirinya dari perilaku buruk dan berkata kasar. Insya Allah ahsanul khuluq akan menyatu dalam dirinya.
Banyak kasus yang dapat kita saksikan wanita wanita yang terbiasa berkata kasar viral di sosial media, bahkan perangai yang tidak sopan terhadap lawan bicara. Hal inipun sering terjadi di dalam keluarga, ibu terhadap anaknya, anak terhadap ayah ibunya dan istri terhadap suaminya.
Betapa banyak kita saksikan kasus demi kasus menempa keluarga bahkan mereka adalah keluarga muslim. Fenomena apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Tergerusnya nilai nilai kebaikan akibat pergaulan yang semakin bebas telah mengaburkan pemahaman adab adab yang diajarkan dalam Islam. Merebaknya aksi gender equality (kesetaraan gender) yang merupakan konsep yang dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen international dalam hal ini Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mencantumkan istilah “hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan dan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.”
Hal ini menjadi pemicu para wanita untuk bisa berperan sebagai laki-laki.
Apa yang terjadi?
Wanita banyak yang terjebak pada pemahaman bahwa dirinya bisa melakukan apa saja yang dilakukan oleh laki-laki. Wanita mulai kehilangan jati dirinya.
Padahal Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita sesuai fitrohnya. Maka banyak wanita sekarang yang berlaku kasar seperti laki-laki (suami, red), mendominasi laki-laki dan merasa tidak butuh laki-laki. Na’udzubillahi mindzalik.
Wahai para wanita kembalilah pada fitrohmu, bersikap lembutlah karena dengan bersikap lembut akan mendatangkan banyak kebaikan. Kasih sayang dan kelembutan adalah dua hal yang diajarkan Allah dan RosulNya, dengan inilah Islam semakin disuka dan dicinta.
Tegas terhadap kebenaran
Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ٥٤
”Hai orang-orang yang beriman, Siapa saja di antara kalian yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka pun mencintai Dia, yang bersikap lemah lembut kepada kaum Mukmin dan keras terhadap kaum kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.” (QS Al-Maidah: 54).
Kata “dzillah” dalam ayat ini memiliki arti belas kasih, sayang dan lemah lembut. Adapun lafal “al-’izzah” artinya keras, tegas dan menang. Ayat diatas berlaku untuk umat Islam secara umum baik laki-laki maupun wanita.
Artinya wanita memiliki sifat lembut namun untuk urusan kebenaran wanita juga harus bisa tegas. Bersikap lemah lembut kepada kaum mukmin tetapi harus bisa tegas terhadap kaum kafir.
Wanita yang lembut bukan berarti wanita lemah. Seorang muslimah adalah wanita berakhlaq mulia sekaligus memiliki sikap berani, kuat dan tegas terhadap kemungkaran.
Sikap tegas ini merupakan bagian dari sikap menampakkan kebesaran Islam dan kaum Muslim. Tak lemah dan tak kalah. Ini sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
”Janganlah kalian bersikap lemah dan jangan pula kalian bersedih hati. Kalianlah kaum yang paling tinggi (derajatnya) jika kalian kaum beriman.” (QS Ali Imran [3]: 139).
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai berikut: “Ayat ini menjelaskan akan keutamaan umat yang berIslam, karena Allah berbicara pada mereka sebagaimana Allah berbicara pada para nabi-Nya, dan sebagaimana Allah berfirman pada nabi Musa, “Sesungguhnya engkau ditempat yang tinggi” dan firmanNya terhadap umat ini, “Kamulah yang tinggi.”
Dalam kaedah islam yang berbunyi:
الإسلام يعلو ولا يعلى عليه
Artinya: ”Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya.”
Pada masa Rasulullah ﷺ, bukan hanya kaum laki-laki muslim saja yang berlomba-lomba beramal shalih, kaum wanita pun tidak ketinggalan turut berlomba-lomba beramal shalih dan mengambil peran dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan pahala amal shalih.
Karena menyadari persamaan haknya dalam peribadahan dan memperoleh pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS: An-Nisa, 4: 124).
Kita dapat menemukan jejak para wanita shalihah di jaman nabi yang berperan aktif dan senantiasa beramal sholeh dalam kehidupannya. Kita dapat I’tibak kepada para ummul mukminin dan shohabiyah saat itu atas peran mereka, ketegasan mereka dalam berIslam:
- Tegas dalam mempertahankan ibadahnya sebagai hamba Allah
Menghambakan diri kepada Allah Ta’ala merupakan ciri dari wanita yang shalihah. Keshalihan inilah yang menjadi asas utama kebahagiaan yang hakiki. Ketaatannya pada Allah akan membentuknya menjadi wanita dengan kemuliaan disisi Allah. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah An-Nisa ayat 124.
- Tegas dalam membela prinsip.
Prinsip hidup seorang muslim adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Dua hal ini adalah software yang dahsyat bagi kehidupan muslim. Setiap langkah dan nafasnya haruslah sesuai dengan perangkat ini untuk menjalankan kehidupannya.
Bahkan ketika Al-Qur’an dan Sunnah ada yang menistakan maka wanita muslimahpun wajib tegas dalam bersikap untuk membelanya (berjihad). Seperti yang pernah terjadi pada jaman dakwah Rasulullah ﷺ.
Muslimah yang terkenal karena keterlibatannya dalam jihad adalah Nasibah binti Ka’ab yang dikenal dengan nama Ummu Imarah. Dia becerita, “Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah ﷺ. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah ﷺ sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah ﷺ terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka.” Rasulullah ﷺ bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud,” begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid dalam membela agamanya, Ia berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.”
Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan untuk melawan tentara Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah. Istri Hubaib turut serta dalam pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan. Tiba-tiba istrinya bertanya, “Dimana aku menjumpaimu ketika perang sedang berkecamuk?”Hubaib menjawab, “Di kemah komandan Romawi atau di surga.”
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggu istrinya.
Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Hendaknya Muslimah memliliki keberanian dan ketegasan dalam membela kebenaran.
Tidak hanya kaum Adam saja yang mempunyai kesempatan dalam membela kebenaran, akan tetapi wanita pun di hadapan Allah punya hak yang sama untuk mendapatkan cinta dan Ridho-Nya. Minimal muslimah sekarang selalu memanfaatkan waktu dan hidupnya untuk beramal shalih dimanapun dan kapanpun, demi perjuangan dan kejayaan Islam.
- Tegas dalam pembelaan terhadap keluarga
Allah Ta’ala memberikan perumpamaan yang indah tentang ikatan suami-istri dalam firmanNya:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ
Artinya: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.” (QS: Al-Baqarah, 2:187).
Fungsi pakaian setidaknya ada tiga, di antaranya menutup aurat, melindungi diri dari panas dan dingin, serta sebagai perhiasan. Demikian juga pada kehidupan rumah tangga seorang muslim dan muslimah, hendaknya saling menutupi kekurangan pasangan, saling melindungi dan memberikan manfaat, serta saling membantu dalam kebaikan (beramal shalih), saling menolong dalam menghadapi kesulitan.
Ayat ini menyampaikan pesan bahwa suami-istri hendaknya saling melengkapi. Tak ada seorangpun yang sempurna, itulah mengapa Allah memasangkan dengan pasangannya.
Contoh, seorang laki-laki lebih cenderung menggunakan akalnya di dalam mengatur urusan keluarga atau kehidupannya. Adapun seorang wanita lebih cenderung menggunakan perasaannya di dalam mengatur semua permasalahan yang dihadapinya.
Dua kecenderungan tentulah dimaksudkan akar menjadi seimbang dalam mengambil keputusan sehingga akan membawa kepada kebahagiaan dan berbagai kebaikan.
Tegas dalam keluarga ini berarti wanita harus mampu menjadikan diri istri sholihah bagi suami yakni istri yang mampu mengingatkan suami ketika suami sedang dalam jalan yang salah, istri mampu membantu suaminya dalam ketaatan kepada Allah ta’ala, istri yang senantiasa menjaga harkat dan martabat rumah tangga ketika suami tidak berada di rumanya.
Ingatlah firman Allah,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Artinya: “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS: An-Nisaa’: 34).
Senantiasa menunjukkan himmah (semangat) yang tinggi, lemah lembut tidak suka memaki, mengucapkan sumpah serapah, mengumpat-keji, berbantah bantahan dan lain-lain dari sikap dan prilaku yang negatif dan tidak terpuji. Ia selalu menunjukkan sikap yang jernih dan lapang dada serta segala hal yang dapat menyebabkan suaminya senang saat berada di rumah seperti disabdakan Nabi ﷺ,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251).
Kemudian menjadi ibu yang smart untuk anak-anaknya, ibu adalah orang yang paling intens berada di dekat anak-anaknya. Oleh karena itu sering kita dengar ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya.(الأم مدرسة الأولى).
Hal ini adalah kesempatan baik yang harus diamanfaatkan seorang ibu untuk transfer knowledge pada anak-anaknya terutama ilmu agamanya. Hal ini akan mebentenginya dari segala bentuk keburukan-keburukan dari pengaruh eksternal.
Dan sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya. Jika seorang muslimah belum menikah masih menjadi tanggungan orang tua.
Cara berbakti kepada orang tuanya tentu langsung dengan orang tuanya (membantu, berkata baik, haomat dan patuh dst). Akan tetapi jika sudah menikah maka cara berbaktinya adalah dengan menyenangkan, mentaati suami dan tidak menyelisihinya, juga menjaga harta suami, dan kehormatan dirinya.
Sehingga wanita yang seperti ini akan mampu menangkal segala bentuk hal yang dapat merusak tatanan keluarganya, dengan ilmu yang telah dimilikinya serta sikap teguh dan tegas dalam mempertahankannya.
Wanita harus memiliki pengetahuan, berakhlak mulia, tahu bagaimana melayani suami serta mengasihi dan mendidik anak-anak ke jalan hidup yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala serta mentauladani sunnah Rasulullah ﷺ.*/ Umi Nisa