Oleh: Nesia Andriana
EMOSI dan cemburu adalah dua saudara kandung yang saling melengkapi satu sama lain. Biasanya dipicu oleh informasi yang tidak utuh, atau bahkan sama sekali tidak memiliki landasan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Emosi dan cemburu akan membuat orang cerdas menjadi bodoh. Membuat orang logis kehilangan perhitungan. Orang tenang menjadi kehilangan kendali. Firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujuraat: 6)
Pada ayat di atas jelas peringatan Allah سبحانه وتعالى terhadap bahaya membiarkan diri bereaksi reaktif atas informasi yang belum tentu benar.
Selain karena informasi yang tidak utuh atau tidak benar, emosi dan cemburu juga bisa disulut oleh prasangka buruk atau lazim disebut su’u-dhon:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Wahai orang-orang beriman! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujuraat: 12)
Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa membiarkan diri terlena dan berlama-lama dalam prasangka adalah termasuk perbuatan dosa. Dan setiap perbuatan dosa akan mengundang akibat lain yang juga buruk selain perbuatan dosa itu sendiri. Salah satunya adalah semakin berkurangnya rasa kepercayaan satu sama lain antara pihak-pihak yang berinteraksi.
Terdapat hadis tentang bagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga menjadi “pihak yang terkena” prasangka buruk dan bagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم sensitif sekaligus preventif:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الحُسَيْنِ، أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ، وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي المَسْجِدِ، فِي العَشْرِ الغَوَابِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً مِنَ العِشَاءِ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ مَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْلِبُهَا، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ المَسْجِدِ، الَّذِي عِنْدَ مَسْكَنِ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَرَّ بِهِمَا رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَفَذَا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَى رِسْلِكُمَا، إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ» قَالاَ: سُبْحَانَ الله يَا رَسُولَ الله، وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا مَا قَالَ: «إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا»
“Dari ‘Ali bin a-Husain radliallahu ‘anhuma bahwa Shafiyah isteri Nabi mengabarkan kepadanya bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam masa-masa i’tikaf Beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dia berbicara sejenak dengan Beliau lalu dia berdiri untuk pulang. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم pun berdiri untuk mengantarnya hingga ketika sampai di pintu masjid yang berhadapan dengan pintu rumah Ummu Salamah, ada dua orang dari kaum Anshar yang lewat lalu keduanya memberi salam kepada Rasulullah. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepada keduanya: “Kalian tenang saja. Sungguh wanita ini adalah Shafiyah binti Huyay”. Maka keduanya berkata: “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Kejadian ini menjadikan berat bagi keduanya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya setan mendatangi manusia lewat aliran darah dan aku khawatir setan telah memasukkan sesuatu pada hati kalian berdua.” [HR Abû Dâwûd Sulaymânu ibnu al-As‘ats ibnu Ishâqi, Sunan Abû Dâwûd, Kitab Âdâb, Bab al-Nahyi ‘An al-Tajassusi, No. 4888, Dâr al-Risâlah al-‘Âlamiyyah, 2009, Juz 7, h. 250]
Jika suatu waktu kita menjadi obyek penderita sikap suu-dhon pihak lain, maka sikap yang paling baik dan bermanfaat adalah menenangkan diri. Menjadi korban seperti itu adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang. Siapa kita sehingga merasa tidak sepantasnya terkena prasangka yang tidak-tidak dari orang lain, jika sosok terpercaya seperti Rasulullah صلى الله عليه وسلم saja bisa di-suu-zhon-I, oleh generasi terbaik pula, generasi sahabat رضي الله عنهم. Meski tentu saja, bersikap tenang pada ‘pukulan pertama’ umumnya tak mudah… kecuali mereka yang sabar dan khusyuk.
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ -٤٥- الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ -٤٦-
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46).*/Penulis alumni STIU Darul Hikmah – Bekasi. (BERSAMBUNG)