Hidayatullah.com | SETO Mulyadi, selaku ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) belum lama ini, mengunjungi cucu-cucu Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa (15/12/2020). Sebagaimana keterangan Kak Seto yang dimuat hidayatullah.com bahwa kunjungannya tersebut untuk meninjau perkembangan dan kondisi para cucu HRS.
“Saya selaku Ketum LPAI harus juga menaruh perhatian pada masalah keselamatan dan kesehatan anak-anak dimaksud. Semua pihak harus terus-menerus berupaya keras bahwa, dalam situasi apa pun, keselamatan dan kesehatan anak-anak tetap didahulukan, diprioritaskan, dinomorsatukan,” ujarnya.
LPAI menambahkan, anak-anak tidak sepatutnya distigmatisasi oleh siapa pun, pihak mana pun, apalagi dihubung-hubungkan dengan persoalan yang tengah dihadapi keluarga. Sikap LPAI tersebut sangat bertolakbelakang dengan kejadian mengenaskan baru-baru ini yang melibatkan seorang ibu yang dengan tega membunuh tiga anaknya yang masih balita dengan menggunakan parang, karena masalah ekonomi.
Perbedaaan Nabi dan Fir’aun
Pada suatu hari ketika Nabi ﷺ mencium cucunya, Hasan bin Ali radhiallahu anhuma, ada seorang bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi yang sedang duduk di dekat beliau. Al-Aqra’ lantas mengatakan, “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tapi tidak pernah satu pun yang saya cium.”
Rasulullah ﷺ melihat kepadanya dan mengatakan (yang artinya), “Orang yang tidak menyayangi, dia tidak disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di lain kesempatan datang seorang Arab Badui kepada Nabi ﷺ lalu bertanya kepadanya (yang artinya), “Apakah kamu mencium anak-anak laki-lakimu? “Saya tidak mencium mereka.” Maka Nabi ﷺ berkata, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut sifat rahmat dari hatimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Nabi ﷺ telah menunjukkan bahwa memuliakan anak-anak meskipun sekadar menunjukkan kasih sayang dengan mencium mereka adalah tanda adanya sifat rahmah (kasih sayang) di dalam hati seseorang. Sebaliknya, sekadar tidak pernah melakukan perbuatan sederhana itu adalah tanda telah dicabutnya sifat rahmat dari hati seeorang olah Allah Swt.
Dalam hal beradab kepada anak-anak dengan memuliakan mereka, Nabi Muhammad ﷺ telah memerintahkan umatnya dengan sabdanya:
أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا آدَابَهُمْ
“Muliakanlah anak-anak kalian dan baguskanlah adab mereka.” (HR. Ibnu Majah).
Sikap memuliakan anak juga dilakukan nabi Ibrahim As. Beliau As memuliakan anaknya dengan memanggilnya dengan panggilan lembut, mengajaknya berdialog dan menanyakan pendapat anaknya, Ismail As, sebelum melaksanakan perintah Allah Swt untuk menyembelih anaknya itu dengan mengatakan (yang artinya), “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?.” (QS: Ash-Shooffaat [37]: 102).
Itulah adab nabi kepada anak-anak. Dan itulah salah satu aspek adab Islami kepada anak-anak. Lain halnya dengan Fir’aun la’natullah a’laih yang biadab. Berdasarkan takwil atas mimpinya dan karena takut kehilangan kekuasaannya dia melakukan tindakan biadab, menyembelih semua anak laki-laki Bani Israil yang berhasil ditemukan, termasuk bayi laki-laki yang baru lahir. (QS: Al-Qoshosh [28]: 4).
Larangan Kekerasan pada Anak
Satu lagi aspek adab Islami kepada anak-anak adalah dilarang melibatkan anak-anak dalam tindakan kekerasan. Dalam peperangan yang pasti terjadi kekerasan fisik, Islam mengatur bahwa anak-anak dilarang untuk ikut serta (diikutsertakan) dalam perang, dan menjadi korban perang.
Ketika Perang Uhud, Ibnu Umar dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ , dan saat itu dia berumur empat belas tahun, beliau ﷺ tidak mengizinkannya untuk ikut serta dalam peperangan. Kemudian dia dibawa lagi ke hadapan beliau ﷺ pada Perang Khandaq, dan pada saat itu dia berumur lima belas tahun, beliau ﷺ pun mengizinkannya ikut serta dalam peperangan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Terkait hal ini ada satu kisah lain yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibn Jarir. Al-Aswad ibn Sari’ dari Bani Sa’ad, yang mengikuti empat peperangan bersama Nabi ﷺ, menuturkan kisah ini.
Dalam suatu peperangan, sebagian pasukan Islam membunuh anak-anak, setelah membunuh pasukan musuh. Ketika berita itu didengar Rasulullah ﷺ, beliau sangat marah.
“Kenapa mereka membunuh anak-anak?” tanya Nabi ﷺ dengan nada keras. Seorang dari mereka menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum musyrik?”
“Yang terbaik di antara kalian pun juga anak-anak kaum musyrik. Ketahuilah bahwa tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Dia akan tetap dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri mengubahnya. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani,” jelas Rasulullah ﷺ .
Islam melarang membunuh anak tidak terbatas dalam peperangan saja, tapi juga termasuk dalam dua hal ini: Pertama, “hanya” karena faktor ekonomi. Dan kedua, “hanya” karena malu memiliki anak perempuan apapun alasannya. Membunuh anak termasuk perbuatan dosa besar. (QS. Al-Israa [17]: 31, An-Nahl [16]: 58-59).
Lebih dari itu, Allah Swt menyandingkan larangan membunuh anak-anak karena faktor ekonomi dengan larangan perbuatan syirik kepada Allah Swt. (QS. Al-An’aam [7]: 151). Nabi kita pun meyatakan demikian. Beliau bersabda bahwa membunuh anak karena alasan ekonomi merupakan dosa yang paling besar setelah kemusyrikan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Penutup
Kehidupan di akhir zaman ini yang sudah sangat maju dan modern, banyak manusia yang memiliki kecerdasan intelektual (akal) dan menjunjung tinggi akal, serta terdapat banyak hukum dan peraturan yang diterapkan. Tapi ternyata semua hal itu tidak bisa menghentikan tindakan-tindakan jahiliyah, primitif dan barbar (biadab) yang dilakukan kepada atau di hadapan anak-anak.
Para pelaku berbagai jenis kejahatan dan kekerasan seperti fisik, verbal dan seksual kepada anak atau di dihadapan anak adalah orang-orang yang kurang atau tidak memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Mereka adalah orang-orang yang tidak beradab alias biadab, dengan kata lain telah mengalami loss of adab (kehilangan adab). Selain itu, Allah Swt telah mencabut sifat rahmat dari hati mereka.
Allah Swt sebagai sang Khaliq kita telah mewajibkan atas diri-Nya sifat rahmat. (QS. Al-‘An’am [6]: 12, 54). Lalu mengapa kita sebagai makhluq-Nya tidak mewajibkan atas diri kita memiliki dan menunjukkan sifat rahmat, khususnya kepada dan di hadapan anak-anak, baik anak-anak kita sendiri maupun bukan?
Jika kita pernah khilaf melakukan kekerasan atau bahkan kejahatan kepada atau dihadapan anak-anak maka kita mesti memohon ampun kepada Allah Swt lalu bertaubat nashuha. Kemudian kita mesti memperbaiki diri dalam segala aspek, antara lain aspek kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Selain itu juga mesti memperbaiki hubungan kita dengan anak-anak tersebut serta memperbaiki kondisi kesehatan fisik dan mental mereka. Wallahu a’lam bish showab.*
Penulis adalah Pelayan di Pusat Kajian Strategis Pendidikan Islam Indonesia (PKSPII) Kota Pendidikan Pare Kediri Jawa Timur