PERNAH tidak, melihat seorang Ibu, Ayah yang menggandeng anaknya dengan tergesa? Lihatlah betapa anaknya sekuat tenaga, terpontang panting, bahkan terjatuh untuk mengejar langkah-langkah besar sang penuntun.
Lalu dengan emosi, ibu dan ayahnya malah menyalahkan perihal langkahnya yang lambat, konsentrasinya yang kurang. Cobalah renungkan, siapa yang salah sebenarnya?
Kadang kita tidak menyadari bahwa kita sebagai orangtua terlalu egois menuntut anak untuk bisa mengimbangi kita.
Makan harus cepat, tidak berhambur. Jalan harus cepat dan fokus, tidak menoleh kanan kiri. Bermain yang bersih saja. Berbicara seperlunya saja. Allahu Akbar!
Betapa semua terasa menyakitkan begitu mendengar lugunya berkata sembari menghapus isak karena terjatuh:
“Ummi gandeng mbak tapi ummi jalan cepat-cepat. Kaki mbak kecil, nggak seperti kaki ummi.”
Ya, sebagian besar anak tidak berani menegur orangtuanya ketika berada pada situasi ini. Mereka lebih memilih bungkam.
Sbagian lagi mengambil resiko baru dengan menangis saja. Sekalipun nantinya akan mengundang masalah baru.
Mereka sejatinya adalah cerminan para orangtua. Apa yang dilakukan orangtua akan membekas pada kehidupannya kelak. Lihatlah bila anak terus diperlakukan demikian.
Kelak ketika besar, anak akan sulit mengendalikan sikapnya. Percaya dirinya berkurang. Takut salah. Hingga pada tingkat pengejar kesempurnaan.
Ingin semua berjalan sesuai keinginannya. Tidak bisa menunda keinginan. Kurang kesabaran. Dan yang bertanggung jawab atas semua itu adalah apa yang dilalui semasa kecilnya.
Lihatlah anak-anak sekarang. Orangtua sibuk membelikan gadget merk terbaru untuk menyenangkan anak. Pasang channel televisi full time untuk memberi hiburan kepada anak. Mendaftarkan anak untuk les hingga waktu 24 jam terasa kurang.
Banyak orangtua mengabaikan anak-anak mereka belajar adab dan sunnah Nabi. Tapi merasa rugi jika tak mengajarkan les berenang, memanah atau berkuda.
Spesifikasinya bukan pula hanya terbatas pada ketiga hal itu saja. Tetapi pola perkembangan psikologi dan motorik anak juga harus dikembangkan.
Mengajari anak berenang, memanah dan berkuda tentu saja dapat membangun kepercayaan diri dan keberaniannya. Olahraga dan olah tubuh semacamnya juga bisa dijadikan pengganti bila kondisi tidak memungkinkan.
Tetapi, olah tubuh dan olah fisik tak akan berarti apa-apa jika ruhiyah dan karakternya tidak bagus.
Lihatlah bagaimana anak-anak Gaza di Palestina tumbuh menjadi anak yang sangat mencintai agamanya di usia belia. Keberanian dan mental baja tertanam begitu kuat dan tertanam dalam diri mereka sejak lahir.
Bukan hanya karena mereka tinggal di kawasan konflik. Tapi karena mereka lahir dan hidup pendidikan karakter mereka yang dikawal dengan kurikulum al-Qur’an dan as-Sunnah.
Lihatlah bagaimana bisa terlahir generasi seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Hamzah, Bilal yang dikenal tangguh. Bahkan dengar seorang Umar Bin Khattab jalan, syetan dan jin bisa lari terbirit-birit.
Di riwiyatkan ‘Aisyah R.A, Rasulullah pernah bersabda: “Sungguh aku melihat setan-setan jin dan manusia, lari terbirit-birit ketika melihat Umar.” (HR: al-Tirmidzi)
Egoisme
Ya, terkadang kita lupa. Egoisme kita sebagai orangtua terlalu tinggi. Keinginan dan impian kita terlalu banyak.
Sehingga kita terbawa menjadikan anak sebagai ujung tombak tanpa mengasahnya terlebih dahulu.
Hanya mengandalkan kekuatan lemparan untuk sampai ke sasaran. Padahal tanpa runcingnya ujung tombak, ia tidak akan menancap sempurna.
Cukuplah berjalan di sisinya. Jadikan ia rekan kerja, teman bermain, sahabat, murid dan guru.
Belajar menjadi orangtua yang baik, selama nafas masih bisa dihembus. Astaghfirullahal ‘adzhiim.
Rabbiy habliy minas shalihin. Wallaahu a’lam.*/Rizky N. Dyah, seorang guru, tinggal di Kutai Barat